Monday, August 02, 2004

Pengumuman Pembukaan Pendaftaran Calon Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik

Senin, 07 Juni 2004 - 09:53 WIB

PENGUMUMANNomor : 07.Pm/70/SJN/2004Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) membuka pendaftaran untuk seleksi Calon Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal), yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003, dengan persyaratan sebagai berikut : I. Persyaratan1. Syarat administratif yang harus dilengkapi oleh setiap Calon Anggota Badan Pengawas, meliputi :a. Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dapat dinyatakan dengan Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku;b. Surat keterangan berkelakuan baik dari Kepolisian domisili Pelamar;c. Surat Keterangan Kesehatan yang dinyatakan dari Dokter Rumah Sakit;d. Surat keterangan berdomisili di wilayah Republik Indonesia dari Kelurahan;e. Surat Pernyataan bersedia tidak akan bekerja pada kegiatan usaha ketenagalistrikan atau usaha lain yang berpotensi konflik kepentingan apabila terpilih menjadi Anggota Bapeptal, sebagaimana format terlampir;f. Surat Pernyataan tidak terikat perjanjian/kepentingan finansial dengan Badan Usaha Ketenagalistrikan, sebagaimana format terlampir; g. Surat Pernyataan tidak pernah dihukum sebagaimana format terlampir; h. Surat Pernyataan tidak menjadi Pengurus Parpol, sebagaimana format terlampir; i. Berumur sekurang-kurangnya 40 Tahun dan setinggi-tinggi 60 Tahun pada saat proses pemilihan;j. Pas foto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 3 (tiga) lembar.2. Syarat Kualifikasi Pendidikan, diutamakan serendah-rendahnya berijazah :a. Sarjana Teknik (Elektro/Mesin/Sipil) yang berpengalaman di bidang ketenagalistrikan;b. Sarjana Hukum;c. Sarjana Ekonomi atau Akuntansi;dibuktikan dengan Ijazah tertinggi yang dimiliki dan disahkan oleh Pejabat yang berwenang, yaitu : 1) Ijazah Perguruan Tinggi Negeri oleh Rektor atau Pejabat yang ditunjuk2) Ijazah Perguruan Tinggi Swasta oleh Rektor/Ketua/Pejabat yang ditunjuk3) Ijazah yang diperoleh dari Perguruan Tinggi di Luar Negeri yang telah diakreditasi oleh Menteri Pendidikan Nasional c.q. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 3. Persyaratan Teknis : a. Pengalaman kerja dibidang penyusunan kebijakan publik dan pengaturan di berbagai bidang.b. Menyampaikan visi dan misi dalam hal pengaturan sektor ketenagalistrikan secara tertulis, maksimum 3 (tiga) lembar diketik dengan 2 (dua) spasi pada kertas ukuran A-4. c. Menyampaikan curriculum vitae yang memuat antara lain keterangan pribadi, pendidikan formal, riwayat pekerjaan, riwayat jabatan, daftar riwayat kepangkatan (apabila Pegawai Negeri Sipil), pendidikan dan pelatihan/seminar diutamakan yang berkaitan dengan bidang kebijakan dan pengaturan yang pernah diikuti di dalam/luar negeri dan penghargaan profesi.4. Lamaran ditulis tangan dengan tinta hitam atau diketik pada kertas bermeterai Rp. 6.000,- ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral u.p. Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral selaku Ketua Tim Seleksi Calon Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal), dilampiri berkas persyaratan. Lamaran dan kelengkapannya dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang masing-masing dimasukkan dalam map.II. TATA CARA PENGAJUAN LAMARAN1. Surat lamaran ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral u.p. Sekretaris Jenderal selaku Ketua Tim Seleksi Calon Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal), Jln. Medan Merdeka Selatan No. 18 Jakarta Pusat.2. Surat lamaran dapat disampaikan langsung atau melalui Pos.3. Surat lamaran sudah diterima Tim Seleksi paling lambat tanggal 17 Juni 2004.4. Hanya lamaran yang memenuhi kelengkapan persyaratan akan diproses lebih lanjut. III. PELAKSANAAN SELEKSI1. Bagi pelamar yang dinyatakan memenuhi persyaratan, akan diikutkan dalam Tes Bakat Skolastik (TBS).2. Pelamar yang dinyatakan dapat mengikuti TBS akan diberikan surat panggilan. 3. Bagi pelamar yang direkomendasikan dari hasil TBS akan diumumkan untuk mengikuti Seleksi Teknis Tertulis.4. Bagi pelamar yang dinyatakan lulus Seleksi Teknis Tertulis akan diumumkan untuk mengikuti psikotes.5. Bagi pelamar yang dinyatakan lulus psikotes akan diumumkan untuk mengikuti wawancara.6. Bagi pelamar yang dinyatakan lulus Seleksi Calon Anggota Badan Pengawas akan diumumkan untuk mengikuti uji kemampuan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR-RI. IV. LAIN-LAIN1. Jadwal seleksi akan diberitahukan pada surat panggilan2. Pelamar Calon Anggota Badan Pengawas tidak dipungut biaya apapun.Jakarta, 7 Juni 2004Sekretaris JenderalDepartemen Energi dan Sumber Daya Mineral Selaku Ketua Tim Seleksi Calon Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga ListrikTtdLuluk Sumiarso____________________________________________________SURAT PERNYATAANYang bertanda tangan di bawah ini :Nama :Tempat tanggal lahir :Agama :Alamat :dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa saya :1. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan;2. Tidak menjadi pengurus Partai Politik;3. Apabila saya diterima sebagai Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal), maka saya tidak akan bekerja pada kegiatan usaha ketenagalistrikan/usaha lain yang berpotensi konflik kepentingan dengan Bapeptal;4. Apabila saya diterima sebagai Anggota Bapeptal saya tidak akan mengikat pernjanjian/kepentingan finansial dengan badan usaha ketenagalistrikan Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan saya bersedia dituntut dimuka pengadilan serta bersedia menerima segala tindakan yang diambil oleh Pemerintah, apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar.Jakarta, …………………………Yang membuat pernyataanMeterai 6000 ………………………………..

Sunday, August 01, 2004

Indonesian tanker deal greases old wheels

http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/FF19Ae06.html

Southeast Asia

By Gary LaMoshi DENPASAR, Bali -

Entering the home stretch of Indonesia's first direct presidential election on July 5, there are only a couple of sure bets. One is that all the candidates promise to fight corruption. You may find that hard to believe since the candidates are or recently were in leading positions to address this problem and neglected to act. The fate of a tanker order from state oil company Pertamina will help set the betting line on whether the next presidential administration will take a different attitude toward corruption. Don't bet on any candidates racing to seize the opportunity to take the lead on this issue. The tanker case illustrates the pervasiveness and persistence of KKN - korupsi, kolusi, nepotisme - in Indonesian business, particularly in the areas where it intersects directly with government. The chronology indicates how quickly the window for seriously combating corruption opened and how fast it can slam shut. The required marathon effort to reduce corruption seems to have been cut to a dash that's already been run. Perky PertaminaPertamina has occupied a special place among Indonesia's state companies. Founded in 1968 just after Suharto's election to the presidency from oil companies formerly controlled by the military, Pertamina quickly became a cash cow for the connected. The monopoly ran up foreign borrowing of US$10 billion by the mid-1970s, much of it for projects that had no connection to the energy business, then prompted the New Order's first economic crisis when it tried to renege on some of that debt. While the methods and tactics changed over the years, Petramina produced steady gushers of graft. In 2000, president Abdurrahman Wahid appointed an outsider, Baihaki Hakim, from petroleum rival Caltex Indonesia, as Pertamina's new top executive with a mandate to clean up the company. The appointment followed a special audit of Pertamina's books that turned up startling abuses. Auditors counted losses of more than $6 billion in a period of just two years. That's more than a $250 million per month, $8.2 million a day, including Saturdays, Sundays and holidays. One leading driver of abuse was Pertamina's sweetheart contracts to transport oil. Pertamina paid about one-third above market to charter tankers, and a small circle of local operators comprised winning bidders. Those grateful shipping magnates could share the wealth with the Pertamina executives greasing the skids for them. Hakim acted to remove the distortions and limit the drain on company - in this case, public - cash. He opened bidding to foreign shippers and applied greater oversight to the process. Hakim also persuaded the company's board to beef up Pertamina's own transport capabilities. Cutting down on tanker leasing would be the surest way to cut down on corruption. In 2002, Pertamina signed a $130 million contract to buy two new tankers in the Very Large Crude Carrier (VLCC) class from South Korea's Hyundai Heavy Industries. Each tanker measures 330 meters long - it could fit the Eiffel Tower and a 747 or two in its hold - with a capacity for 2 million barrels of oil. The first tanker is due to be delivered within weeks. The question now is whom to deliver it to. Outsider outWhile Hyundai was building the tankers, the old guard was rebuilding its influence at Pertamina. Like many other New Order interests, it found renewed sympathy when Megawati Sukarnoputri replaced Wahid as president. Megawati's regime backed a management overhaul at Pertamina last September. Hakim was ousted as president in favor of Pertamina lifer Ariffi Nawawi, and Megawati loyalists took seats on the firm's oversight boards. One of their top priorities - while Indonesia was sliding from net oil exporter to importer - was scuttling the tanker deal. That would bring back the good old days of exorbitant profits for all. Pertamina's new managers don't say that, of course. Nawawi argues that owning two VLCC tankers is a luxury that Pertamina cannot afford. He also claims leasing will save money and increase flexibility for the state company. Even assuming Pertamina's assertion that it could negotiate charter contracts like a normal business instead of charity for the wealthy, outside experts dispute those savings estimates and other claimed benefits. With the impending end of its monopoly, many industry analysts assert that owning tankers could give Pertamina advantages on the home front to help it weather the transition. Frontline reportPertamina has reportedly reached an agreement to sell the tankers to oil-transport specialists Frontline Ltd for $184 million. (Pertamina has declined to confirm the agreement.) In the event of a sale, given the lack of VLCCs available at the moment, there's a strong chance Pertamina could lease back one of the tankers. The apparent premium in the price reflects that current supply gap - it takes about two years from order to delivery for a VLCC tanker - but it's not much after factoring in Pertamina's financing costs, as well the commission to investment bank Goldman Sachs for brokering the sale. (Nice to see how globalization lets Wall Street get a piece of Indonesian graft.) In connection with the deal, 15 key legislators from the energy and mining committee of the House of Representatives went on a junket to Hyundai's shipyard in Ulsan, South Korea, and to the Goldman Sachs conference room in Hong Kong. They came away persuaded to support the sale. However, House Speaker Akbar Tanjung, who knows a thing or two about corruption cases himself (see Tanjung acquittal: Verdict against reform, February 14), has passed the decision to President Megawati, in the midst of campaigning for re-election. After her party's lousy showing in the April legislative election with 49% fewer votes than in 1999, Megawati's campaign has taken to waving the reformasi banner once again. She's pledging to stamp out corruption, even promising to put Suharto on trial. The Pertamina tanker deal would be a good place to start her war on corruption, if she is serious. Explanations from Nawawi about the advantages of selling aren't fooling anyone. Throughout the economy, the voters know what's going on. Foreign investors know - they cut their new investments in Indonesia by 41% in the first five months of 2004. It's time for politicians to show they're not getting fooled, or taking the public for fools, either. It's a good bet that Megawati's government won't announce a decision before July 6, three days ahead of the first tanker's scheduled delivery date and one day after balloting in the presidential election. It's an even better bet that players with big bankrolls will know the answer in time to place their wagers before election day. (Copyright 2004 Asia Times Online, Ltd. All rights reserved. Please contact content@atimes.com for information on our sales and syndication policies.)

Friday, July 30, 2004

Indonesia Energy: Brief Analysis

http://www.eia.doe.gov/emeu/international/indonesa.html

Indonesia is important to world energy markets because of its OPEC membership and substantial, but declining, oil production. Indonesia also is the world's largest liquefied natural gas (LNG) exporter.
The information contained in this report is the best available as of July 2004 and can change.
GENERAL BACKGROUNDIndonesia's economic growth surpassed expectations in 2003, largely fueled by consumer spending. Indonesia's real gross domestic product (GDP) grew at a rate of 4.1% in 2003, up from 3.7% in 2002. Real GDP growth is forecast to be 4.7% for 2004, although imbalances in the macroeconomic picture, such as increasing budget deficits caused by oil price subsidies on the local market, could lead to future problems.
Last year was the final year of the IMF assistance program designed to pull Indonesia's economy out of the emergency situation that had developed during the 1997/98 Asian financial crisis. In March 2003, the IMF disbursed the scheduled $469 million tranche of its bailout package after reporting that Indonesia had made good progress instituting reforms. The IMF review cited Indonesia's continued economic growth, decreasing inflation rates, and strengthened banking sector as examples of progress made, while mentioning that more reforms were still necessary. Conditions of the $43 billion bailout agreement included improving the transparency of government financing and especially the operation of government-owned enterprises such as the state-run PT Pertamina oil monopoly. The government of Megawati Sukarnoputri expressed a commitment to reforms when it took office in 2001, but progress has been limited since then, with the April 2004 ouster of reform-minded Pertamina head Baihaki Hakim renewing concerns – especially among urgently needed foreign investors – that Indonesia's efforts to improve transparency have faltered.
President Megawati has been in power since July 2001, assuming the presidency after her predecessor, President Abdurrahman Wahid, was removed from office by the national legislature. The regional challenges facing the Indonesian government remain the same: a separatist movement in Aceh, an oil and gas rich province in north Sumatra which abuts the strategically important Strait of Malacca; and a separatist movement in Irian Jaya, a gas-rich province at the eastern end of the country. The government is also managing threats posed by an Al Qa'ida-linked terrorist group, called Jemaah Islamiyah. Jemaah Islamiyah was responsible for the 2001 nightclub bombing in Bali, a 2003 hotel bombing in Jakarta, and is now targeting Western business and political figures in Indonesia, according to recent reports. Jemaah Islamiyah is seeking to undermine foreign economic interests in the country, according to Western security officials.
Tension exists between the central government in Jakarta and leadership at the regional level. The distribution of oil and gas revenues between the central government in Jakarta and regional governments in areas which produce oil and gas has been regularly disputed. Since Indonesia's transition to democracy in 1999, the country's regional governments have been pressing for a greater share of oil and gas revenues. In particular, the separatist movement in Aceh continues to cause security problems for oil and gas companies in that region, despite the government's energetic offensive against the separatists this year.
OILIndonesia currently holds proven oil reserves of 4.7 billion barrels, down 13% since 1994. Much of Indonesia's proven oil reserve base is located onshore. Central Sumatra is the country's largest oil producing province and the location of the large Duri and Minas oil fields. Other significant oil field development and production is located in accessible areas such as offshore northwestern Java, East Kalimantan, and the Natuna Sea. Indonesian crude oil varies widely in quality, with most streams having gravities in the 22o to 37 o API range. Indonesia's two main export crudes are Sumatra Light, or Minas, with a 35 o API gravity, and the heavier, 22o API Duri crude. A study released in August 2002 by Indonesia's Directorate General of Oil and Gas shows that oil reserves in the Cepu block alone, located in Central/East Java, are close to 600 million barrels, about half of which is considered recoverable.
In 2003, Indonesian crude oil production averaged 1.02 million barrels per day (bbl/d), down from the 2002 average of 1.10 million bbl/d and continuing the decline of the past several years. The decline is due mainly to the natural fall off of aging oil fields, a lack of new investment in exploration and regulatory hurdles unlikely to be addressed until after the 2004 elections. Besides crude oil, Indonesia also produces approximately 133,800 bbl/d of natural gas liquids and lease condensate, which are not part of its OPEC quota. Indonesia is the only Southeast Asian member of OPEC, and its current OPEC crude oil production quota is 1.22 million bbl/d.
The majority of Indonesia's producing oil fields are located in the central and western sections of the country. Therefore, the focus of new exploration has been on frontier regions, particularly in eastern Indonesia. Sizable, but as of yet unproven, reserves may lie in the numerous, geologically complex, pre-tertiary basins located in eastern Indonesia. These regions are much more remote and the terrain more difficult to explore than areas of western and central Indonesia.
China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) became the largest offshore oil producer in Indonesia in January 2002, after purchasing nearly all of Repsol-YPF's assets in the country for $585 million. Pertamina is a CNOOC partner in each Production Sharing Contract (PSC). However, in 2003 CNOOC's production dropped 20,500 bbl/d, or 17.5%, from its 2002 level.
Companies producing from existing fields are attempting to increase recovery rates and to prolong the life of the fields. Caltex, which has the largest operation of any multinational oil company in Indonesia, undertook a steam injection project at the Duri field on Sumatra, but nonetheless experienced a drop of about 71,000 bbl/d in production in 2003 over 2002. Half of the drop is attributed to natural depletion.
The country's declining oil production could be turned around once the new Cepu field in Java comes online. The field, estimated to hold reserves of at least 600 million barrels of oil, is being developed by ExxonMobil in partnership with Pertamina. However, the two oil giants have been unable to reach an agreement over profit sharing, with Pertamina demanding half the field's output and ExxonMobil demanding that Pertamina cover half the field's production costs. Additionally, ExxonMobil wants Jakarta to extend its technical assistance contract, due to expire in 2010, for 20 years. ExxonMobil officials have indicated that the field could be operational in 2006 and could produce up to 180,000 bbl/d, according to recent reports.
Smaller fields could help boost production numbers if they become fully operational in 2004 and 2005. Unocal's West Seno field, under development offshore from East Kalimatan, is producing 40,000 bbl/d and is expected to produce up to 60,000 bbl/d when the second phase of development is completed in early 2005. ExxonMobil's Banyu Urip field, in Java, is expected to come onstream in 2006, according to the company, and reach its peak production capacity of 100,000 bbl/d soon after. Even with these new fields, though, Indonesia's oil production is not likely to rise markedly, due to the continuing decline of mature fields.
Oil Sector ReformsThe liberalization of Indonesia's downstream oil and gas sector has been under discussion for several years. In October 2001, the Indonesian legislature passed the much-vaunted Oil and Gas Law 22/2001 which limited Pertamina's monopoly on upstream oil development (which requires it to be included in all PSCs) by the end of 2003. Also, Pertamina's regulatory and administrative functions were transfered to other entities, while its regulatory role was spun off to a new body, BP Migas. Reports from foreign firms are that BP Migas is proving to be even less efficient than the original Pertamina entity. Almost three years after the law was passed, several regulations have still not been finalized and are unlikely to be before a new government is elected in July.
Pertamina maintained its retail and distribution monopoly for petroleum products, until July 2004 when the first licenses for a foreign firm to retail petroleum products are due to be awarded to BP and Petronas of Malaysia. The government is still promising to open the sector to full competition by 2005, although progress has been very slow to date. Political interests with ties to Pertamina are likely reluctant to see the state-run firm lose its assured revenue streams. Pertamina itself was changed to a limited liability company by presidential decree in 2003, and is slated to be fully privatized by 2006.
Indonesia's Ministry of Mines and Energy has taken over the function, formerly carried out by Pertamina, of awarding and supervising PSCs with foreign oil companies. Foreign firms also are to be freed from some of the regulatory approval requirements which they argue hinder their efficiency. One concern foreign oil companies have with the new law is the granting of a limited authority to regional governments to tax oil companies' profits.
RefiningIndonesia has seven refineries, with a combined capacity of 992,745 bbl/d. The largest refineries are the 348,000-bbl/d Cilacap in Central Java, the 240,920-bbl/d Balikpapan in Kalimantan, and the 125,000-bbl/d Balongan, in Java.
PT Kilang Minyak Intan Nusantara, a joint venture of Al-Banader International Group of Saudi Arabia (40%), China National Electrical Equipment Corporation (40%) and PT Intanjaya Agromegah Abadi (20%), are investing a total of $6 billion to build two Indonesian oil refineries -- one in Pare-Pare, South Sulawesi and the other in Batam Island, Riau. Both projects are expected to be operational in 2005, with crude refining capacities of 300,000 bbl/d. The refineries will be export-oriented, taking Saudi crude and refining it for sale primarily to the Chinese market.
In January 2004, the state-owned National Iranian Oil Co. and Pertamina announced that they will consider cooperating in a $1 billion venture to build and operate an oil refinery in East Java. The facility is expected to process up to150,000 bbl/d of crude oil mainly from the Cepu block, according to local press reports. As of June 2004, however, the feasibility study was still not finalized.
Pertamina has decided to resume construction of the partly built petrochemical facility in Tuban, East Java. The project has stalled since 1998. By the terms of the agreement, Pertamina will guarantee $400 million in loans from foreign banks and supply inputs to the plant. Domestic investors in the project include several men with close ties to former Indonesian leader Suharto. Pertamina's partnership with Saudi Arabia's Hi-Tech International Group collapsed in 2002 when the Saudi firm failed to raise enough money to finance its portion of the plant. Another attempt to restart the project failed when the World Bank and IMF informed the Indonesian government in 2003 that Pertamina's attempt to finance the project alone, using collateralized revenue from the Cilcap refinery, was forbidden under the terms of their respective lending programs. When complete, the plant is expected to produce 1 million tons of aeromatic, 1 million tons light naptha, and 1.6 million tons of kerosene and diesel annually.
NATURAL GASIndonesia has proven natural gas reserves of 92.5 trillion cubic feet (Tcf). Most of the country's natural gas reserves are located near the Arun field in Aceh, around the Badak field in East Kalimantan, in smaller fields offshore Java, the Kangean Block offshore East Java, a number of blocks in Irian Jaya, and the Natuna D-Alpha field, the largest in Southeast Asia. Despite its significant natural gas reserves and its position as the world's largest exporter of liquefied natural gas (LNG), Indonesia still relies on oil to supply about half of its own energy needs. About 70% of Indonesia's LNG exports go to Japan, 20% to South Korea, and the remainder to Taiwan. As Indonesia's oil production has leveled off in recent years, the country has tried to shift towards using its natural gas resources for power generation. However, the domestic natural gas distribution infrastructure is inadequate.The main domestic customers for natural gas are fertilizer plants and petrochemical plants, followed by power generators.
Indonesia is facing a declining share of global LNG markets, despite its past status as the world's leading LNG and dry gas exporter. The decline can be attributed to questions over the reliability of Indonesian supply and lower investment in the Indonesian energy sector. Uncertainties over political support for the sanctity of contracts, regulatory transparency, and unfavorable PSC terms have undermined investment support. As a result, Indonesian LNG exports have been partially replaced by exports from Oman, Qatar, Russia, and Australia on world markets. The sector has also faced restructuring under the terms of Indonesia's World Bank and IMF lending agreements, with BP Migas taking over the supervisory and management roles formerly filled by Pertamina.
Despite Pertamina's reduced authority, the company's key role in the gas sector was reinforced in early June when BP Migas announced that PT Pertamina has been appointed as the sole sales agent for LNG sales to South Korea and Taiwan. Pertamina will negotiate sales for Total, Unocal, Vico and BP Indonesia. Current contracts with South Korea and Taiwan are due to expire in 2007 and 2009, respectively.
One project that holds tremendous promise for Indonesia's future in worldwide LNG markets is BP's Tangguh project in Papua province (also known as Irian Jaya), based on over 14 Tcf of natural gas reserves found onshore and offshore the Wiriagar and Berau blocks. The project will involve two trains with a combined capacity of 7 million tons per annum (tpa), expandable to 14 million tpa. BP's current plans call for the project to be completed by 2007. Initial planning was stalled when BP lost the bids to supply Guandong Province and Taiwan in early 2003. However, in late 2003 and early 2004, BP secured supply agreements with Fujian, China for 2.6 million tpa, with leading Korean steel producer POSCO for 1.5 million tpa, and with Sempra Energy for 3.7 million tpa over 15 years to begin in 2007. These supply agreements made possible the $2.2 billion investment to develop the fields. Talks are underway for BP's Tangguh to supply 5 million tpa to Jiangsu, China beginning in 2007.
The 400-mile Natuna pipeline is one of the longest undersea gas pipelines in the world, bringing gas from blocks operated by Premier Oil, ConocoPhillips, and Star Energy to customers in Singapore. Singapore is a major consumer of Indonesian natural gas, which it uses for its growing electricity generation needs. New pipeline proposals that would link East Natuna with the Phillipines are under consideration, but the high financing costs and security concerns in regions to be traversed by the lines make the projects unlikely.
In another possible use for Indonesia's gas resources, Shell is examining the possibility of building a gas-to-liquids (GTL) plant in Indonesia. The plant, if the project goes forward, would produce 70,000 bbl/d of diesel and other middle distillates using the Fischer-Tropsch GTL process.
COALIndonesia has 5.9 billion short tons of recoverable coal reserves, of which 58.6% is lignite, 26.6% is sub-bituminous, 14.4% is bituminous, and 0.4% anthracite. Sumatra contains roughly two-thirds of Indonesia's total coal reserves, with the balance located in Kalimantan, West Java, and Sulawesi. According to U.S. Embassy reports, Indonesia produced 114 million metric tons of coal in 2003, up 11% from 2002. The entire increased production was exported, primarily to Japan and Taiwan, but also South Korea, the Philippines and Hong Kong.
Indonesia plans to double coal production over the next five years, mostly for export to other countries in East Asia and India. The new capacity will come primarily from private mines. The Clough Group of Australia was awarded a $215 million contract for improvements at the Indonesian firm GBP's Kutai mine in East Kalimatan. Another foreign firm with major interests in Indonesian coal mining is Australia's Broken Hill Proprietary (BHP).
July, 2003 saw the divestment of Australian mining company Rio Tinto and BP from their joint venture in Kaltim Pima Coal (KPC).The shares were sold to Indonesian firm, PT Bumi Resources for $500 million. According to several reports, the divestment was prolonged and acrimonious as the government objected to Rio Tinto's divestment plan, and threatened to mobilize public action to block the mine's operations. Ultimately, Rio Tinto and partner BP sold their combined 100% stake for about half of its assessed value.
ELECTRICITY GENERATIONIndonesia has installed electrical generating capacity estimated at 21.4 gigawatts, with 87.0% coming from thermal (oil, gas, and coal) sources, 10.5% from hydropower, and 2.5% from geothermal. Prior to the Asian financial crisis, Indonesia had plans for a rapid expansion of power generation, based mainly on opening up Indonesia's power market to Independent Power Producers (IPPs). The crisis led to severe financial strains on state-utility Perusahaan Listrik Negara (PLN), which made it difficult to pay for all of the power for which it had signed contracts with IPPs. PLN has over $5 billion in debt, which has grown markedly in terms of local currency due to the decline in the value of the rupiah. The Indonesian government has been unwilling to take over the commercial debts of PLN.
Indonesia is facing an electricity supply crisis, with some observers predicting that PLN may be unable to take on any new customers by 2005. Intermittent blackouts are already an issue across Java. Demand for electrical power is expected to grow by approximately 10% per year for the next ten years. The majority of Indonesia's electricity generation is currently fueled by oil, but efforts are underway to shift generation to lower-cost coal and gas-powered facilities. Geothermal energy and hydropower are also being investigated.
In January 2003, the World Bank announced that it was planning to build three micro-hydropower plants in the Indonesian province of Papua (Irian Jaya). A feasibility study on all of the area's water sources has already been conducted by the Bank, and the results are being studied. By building these facilities, the World Bank hopes to improve services to the local population as well as to encourage development activities in the province.
In October 2003, the World Bank approved a $141 million loan to Indonesia for the purpose of improving the power sector on Java-Bali, which uses approximately 80% of Indonesia's power generation capacity. The project includes support for a corporate and financial restructuring plan for PLN and technical assistance for a restructuring program for state gas company, Perusahaan Gas Negara (PGN), that will provide for increased natural gas supplies for electricity generation. The restructuring plan requires that PLN must restructure two of its subsidiaries, PT Indonesia Power and PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). The two together supply about 80% of the power supply for Java and Bali, according to reports.
Also in 2003, the government renegotiated 26 power plant projects with the IPPs. Of those, five projects will be assumed by the government, in cooperation with PLN and Pertamina. The government foresees inviting private investors to participate in some electricity generation development projects, according to the U.S. Embassy.
Competition for power generation will be open on the islands of Batam, Java, and Bali by 2007. In 2008, retail competition in the electricity market will begin under the terms of the nation's new electricity law, approved in September 2002. The law requires an end to PLN's monopoly on electricity distribution within five years, after which time private companies (both foreign and domestic) will be permitted to sell electricity directly to consumers. However, all companies will need to use PLN's existing transmission network.
ENVIRONMENT Indonesia's major environmental challenges involve supporting its large population. Air and water pollution have reached critical levels, especially on the most populated island of Java. Indonesia's carbon emissions remain low, but there is concern that an increase in the use of indigenous coal will increase Indonesia's carbon emissions in the coming years. Indonesia is well endowed with renewable energy potential, especially geothermal energy. Indonesia's renewable resouces are not yet fully exploited.
In March 2003, the Asian Development Bank approved a $600,000 grant to help combat Jakarta's air pollution problem. The technical assistance grant will be used primarily to promote a clean vehicle fuel program, known as the "Blue Skies" project. Indonesia is also phasing out the use of leaded gasoline, with a complete ban set to come into force in 2005.
Sources for this report include: AFX Asia; Asia Times; APS Review Oil Market Trends; CIA World Factbook 2003; Dow Jones News Wire service; Economist Intelligence Unit ViewsWire; Energy Intelligence Group; Financial Times; Global Insight World Overview; The Jakarta Post; Mining Magazine; Oil & Gas Journal; Petroleum Economist; Petroleum Intelligence Weekly; Platt's International Coal Report; Platt's Oilgram News; Reuters News Wire; U.S. Energy Information Administration; U.S. Department of State; Wall Street Journal; World Bank Group; World Gas Intelligence; World Markets Analysis.
COUNTRY OVERVIEWPresident: Megawati Sukarnoputri (since July 2001) Independence: Proclaimed independence on August 17, 1945. On December 27, 1949, Indonesia became independent from the Netherlands. Population (2004E): 238.5 million Location/Size: Southeastern Asia/735,310 sq. mi., slightly less than three times the size of Texas Major Cities: Jakarta (capital), Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Ujung Pandang Languages: Bahasa Indonesia (official), English, Dutch, local dialects including Javanese Ethnic Groups: Javanese (45%), Sundanese (14%), Madurese (7.5%), coastal Malays (7.5%), other (26%) Religions: Muslim (88%), Protestant (5%), Roman Catholic (3%), Hindu (2%), Buddhist 1%), other (1%)
ECONOMIC OVERVIEWMinister for Economic Affairs: Kuntjoro-Jakti Dorodjatun Currency: Rupiah Exchange Rate (06/30/04): US$1 = 9,399 rupiah Gross Domestic Product (2003E): $208.3 billion (2004F): $225.0 billionReal GDP Growth Rate (2003E): 4.1% (2004F): 4.7% Inflation Rate (Consumer Price Index) (2003E): 6.8% (2004F): 5.8% Merchandise Exports (2003E): $63.2 billion Merchandise Imports (2003E): $38.0 billion Merchandise Trade Balance (2003E): $25.2 billion Major Export Products: Manufactured goods, petroleum, natural gas and related products, foodstuffs, raw materials Major Import Products: Capital equipment, raw and intermediate materials, consumer goods, petroleum products Major Trading Partners: Japan, United States, Singapore, Hong Kong, Britain, Australia
ENERGY OVERVIEWEnergy Minister: Purnomo Yusgiantoro Proven Oil Reserves (1/1/04E): 4.7 billion barrels Oil Production (2003E): 1.26 million barrels per day (bbl/d), of which 1.02 million bbl/d was crude oilOPEC Production Quota (since 4/01/04): 1.218 million bbl/d (as of 7/01/04): 1.32 million bbl/d Oil Consumption (2003E): 1.13 million bbl/dNet Oil Exports (2003E): 130,000 bbl/d (2004F): 16,000 bbl/d Major Oil Customers: Japan, United States, South Korea, China, Australia, Taiwan, Singapore, Thailand Crude Oil Refining Capacity (1/1/04E): 992,745 bbl/d Natural Gas Reserves (1/1/04E): 90.3 trillion cubic feet (Tcf) Natural Gas Production (2002E): 2.48 Tcf Natural Gas Consumption (2002E): 1.20 Tcf Net Gas Exports (2002E): 1.28 Tcf Major LNG Customers (2003): Japan, South Korea, Taiwan Coal Reserves (2002E): 5.92 billion short tons of recoverable reserves of which 85% is lignite and 15% is anthracite Coal Production (2002E): 144 million short tons (Mmst) Coal Consumption (2002E): 31.1 Mmst Net Coal Exports (2002E): 112.8 MmstMajor Coal Customers (2002): Japan, Taiwan, South Korea, the Philippines Electric Generation Capacity (2002E): 25.6 gigawatts Electricity Production (2002E): 99.3 billion kilowatt hoursElectricity Consumption (2002E): 92.4 billion kilowatt hours
ENVIRONMENTAL OVERVIEWTotal Energy Consumption (2002E): 4.45 quadrillion Btu* (1.0% of world total energy consumption) Energy-Related Carbon Dioxide Emissions (2002E): 299.8 million metric tons (1.2% of world total carbon dioxide emissions) Per Capita Energy Consumption (2002E): 20.5 million Btu (vs U.S. value of 339.1 million Btu) Per Capita Carbon Dioxide Emissions (2002E): 0.38 metric tons (vs U.S. value of 5.45 metric tons) Energy Intensity (2002E): 5,870 Btu/ $ nominal-PPP (vs. U.S. value of 9,344 Btu/$ nominal-PPP) Carbon Dioxide Intensity (2002E): 0.40 metric tons/ $ nominal-PPP (vs. U.S. value of 0.17 metric tons/thousand $ nominal) Fuel Share of Energy Consumption (2002E): Oil (48.5%), Natural Gas (29.2%), Coal (16.1%) Fuel Share of Carbon Dioxide Emissions (2002E): Oil (52.8%), Natural Gas (25.8%), Coal (22.0%) Status in Climate Change Negotiations: Non-Annex I country under the United Nations Framework Convention on Climate Change (ratified August 23rd, 1994). Signatory to the Kyoto Protocol (signed July 13th, 1998 - not yet ratified). Major Environmental Issues: Deforestation; water pollution from industrial wastes, sewage; air pollution in urban areas. Major International Environmental Agreements: A party to Conventions on Biodiversity, Climate Change, Endangered Species, Hazardous Wastes, Law of the Sea, Nuclear Test Ban, Ozone Layer Protection, Ship Pollution, Tropical Timber 83, Tropical Timber 94 and Wetlands. Has signed, but not ratified, Desertification and Marine Life Conservation.
* The total energy consumption statistic includes petroleum, dry natural gas, coal, net hydro, nuclear, geothermal, solar, wind, wood and waste electric power. The renewable energy consumption statistic is based on International Energy Agency (IEA) data and includes hydropower, solar, wind, tide, geothermal, solid biomass and animal products, biomass gas and liquids, industrial and municipal wastes. Sectoral shares of energy consumption and carbon emissions are also based on IEA data.**GDP based on CIA World Factbook estimates based on purchasing power parity (PPP) exchange rates.
OIL AND GAS INDUSTRIESOrganizations: Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) - oil exploration, production, transportation, and marketing; Perum Gas Negara (PGN) -gas distributor and transmission company Major Producing Oil Fields: Duri, Minas, Belida, Ardjuna, Arun, KG/KRA, Widuri, Nilam, Attaka Oil Refineries (1/1/04): Cilacap, Central Java (348,000 bbl/d); Pertamina-Balikpapan, Kalimantan (240,920 bbl/d); Musi, South Sumatra (109,155 bbl/d); EXOR-1, Balongan, Java (125,000 bbl/d); Dumai, Central Sumatra (114,000 bbl/d); Sungai Pakning, Central Sumatra (47,500 bbl/d); Pangakalan Brandan, North Sumatra (4,750 bbl/d); Cepu, Central Java (3,420 bbl/d) Product Pipelines: Trans-Java (serving the Surabaya market) Oil Tanker Terminals: Java: Cilegon, Cilacap, Surabaya, Ardjuna B (offshore) Sumatra: Pangkalan Brandan, Belawan, Dumai, Musi, Perlak, Palembang, Tanjung Uban (offshore) Kalimantan: Balikpapan Sulawesi: Ujung Pandang Irian Jaya: Sorong, Jaya Seram: Bula Natuna Sea: Ikan Pari Major Gas Fields: Sumatra: Arun, Alur Siwah, Kuala Langsa, Musi, South Lho Sukon, Wampu East Kalimantan: Attaka, Badak, Bekapai, Handil, Mutiara, Nilam, Semberah, Tunu Natuna Sea: Natuna Java: Pagerungan, Terang/Sirasun Irian Jaya: Tangguh Major Gas Pipelines: Sumatra: Pangkalan Brandan-Dumai LNG Plants: Bontang, Arun
LINKS
For more information from EIA on Indonesia, please see:EIA - Country Information on Indonesia
Links to other U.S. government sites:CIA World Factbook - Indonesia U.S. Department of Energy - Office of Fossil Energy - Indonesia U.S. State Department Consular Information Sheet Library of Congress Country Study on IndonesiaU.S. Embassy in Jakarta U.S. Commercial Service in Indonesia Country Commercial Guides and Market Research on Indonesia
The following links are provided solely as a service to our customers, and therefore should not be construed as advocating or reflecting any position of the Energy Information Administration (EIA) or the United States Government. In addition, EIA does not guarantee the content or accuracy of any information presented in linked sites.Indonesian Embassy in the United States Indonesian Consulate General of the United States in HoustonPertamina Indonesian Links PTPerusahaan Gas Negara (PGN)
If you liked this Country Analysis Brief or any of our many other Country Analysis Briefs, you can be automatically notified via e-mail of updates. You can also join any of our several mailing lists by selecting the listserv to which you would like to be subscribed. The main URL for listserv signup is http://www.eia.doe.gov/listserv_signup.html. Please follow the directions given. You will then be notified within an hour of any updates to Country Analysis Briefs in your area of interest.
Return to Country Analysis Briefs home page
File last modified: July 12, 2004
Contact: Lowell Feld lfeld@eia.doe.gov Phone: (202)586-9502 Fax: (202)586-9753
InsertFooter();
EIA Home Contact Us

Thursday, July 29, 2004

UU 25/1999 ttg PKPPD

 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARAPEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan, dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat;
bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah Yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Mengingat :
Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839;
Dengan PersetujuanDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAMEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya;
Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Otonomi Daerah adalah Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Propinsi atau Bupati bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Desentralisasi adalah Desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Dekonsentrasi adalah Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Tugas Pembantuan adalah Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah suatu rencana keuangan tahunan Negara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan;
Anggaran Dekonsentrasi adalah pelaksanaan APBN di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Dekonsentrasi;
Anggaran Tugas Pembantuan adalah pelaksanaan APBN di Daerah dan Desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Tugas Pembantuan;
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
Dokumen Daerah adalah semua dokumen yang diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.
BAB II DASAR-DASAR PEMBIAYAANPEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
(3) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
(4) Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.
BAB IIISUMBER-SUMBER PENERIMAANPELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian PertamaSumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah:
Pendapatan Asli Daerah;
Dana Perimbangan;
Pinjaman Daerah;
Lain-lain Penerimaan yang sah.
Bagian Kedua Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari:
hasil pajak Daerah;
hasil retribusi Daerah;
hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pasal 5
(1) Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian KetigaDana Perimbangan
Pasal 6
(1) Dana Perimbangan terdiri dari:
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
Dana Alokasi Umum;
Dana Alokasi Khusus.
(2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
(3) Penerimaaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
(5) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:
Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 7
(1) Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
(2) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.
(4) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
(5) Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.
(6) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(7) Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
(8) Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan:
kebutuhan wilayah otonomi Daerah;
potensi ekonomi Daerah.
(9) Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pasal 8
(1) Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
(2) Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/atau
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional;
(3) Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana reboisasi.
(4) Dana reboisasi dibagi dengan imbangan:
40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus.
60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat.
(5) Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KeempatPinjaman Daerah
Pasal 11
(1) Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
(2) Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat.
(3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
(4) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas Daerah.
Pasal 12
(1) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan persetujuan DPRD.
(2) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya.
(3) Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal 13
(1) Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan.
(2) Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan Daerah.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
(1) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD.
(2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum kepada Daerah.
Pasal 15
Pelaksanaan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KelimaDana Darurat
Pasal 16
(1) Untuk keperluan mendesak kepada Daerah tertentu diberikan Dana Darurat yang berasal dari APBN.
(2) Prosedur dan tata cara penyaluran Dana Darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.
BAB IVPENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN DEKONSENTRASI
Pasal 17
(1) Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
(2) Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
(3) Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
(4) Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi diadministrasikan dalam Anggaran Dekonsentrasi.
(5) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Dekonsentrasi, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
(6) Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VPENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 18
(1) Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan disalurkan kepada Daerah dan Desa melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
(2) Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Daerah dan Desa kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
(3) Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
(4) Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Tugas Pembantuan diadministrasikan dalam Anggaran Tugas Pembantuan.
(5) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Tugas Pembantuan, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
(6) Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIPENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian PertamaPokok-Pokok Pengelolaan Keuangan dalamPelaksanaan Desentralisasi
Pasal 19
(1) Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.
(2) Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
(3) APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD merupakan Dokumen Daerah.
Pasal 20
(1) APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN ditetapkan.
(2) Perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.
(3) Perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 21
Anggaran pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan.
Pasal 22
(1) Daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu.
(2) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicadangkan dari sumber penerimaan Daerah.
(3) Setiap pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) Semua sumber penerimaan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan semua pengeluaran atas beban dana cadangan diadministrasikan dalam APBD.
Pasal 23
(1) Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
(2) Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian KeduaLaporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pasal 24
(1) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai:
pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22;
kinerja keuangan Daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan Desentralisasi.
(2) DPRD dalam sidang pleno terbuka menerima atau menolak dengan meminta untuk menyempurnakan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Laporan pertanggungjawaban keuangan Daerah merupakan Dokumen Daerah.
Bagian Ketiga Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pasal 25
Pemeriksaan atas pelaksanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIISISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan Daerah.
(2) Informasi yang dimuat dalam sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 28
(1) Daerah wajib menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah Pusat termasuk Pinjaman Daerah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIIISEKRETARIAT BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
Pasal 29
(1) Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bertugas mempersiapkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengenai perimbangan keuangan Pusat dan Daerah serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IXKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Daerah sepanjang tidak bertentangan dan belum disesuaikan dengan Undang-undang ini masih tetap berlaku.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah Undang-undang ini diberlakukan.
Pasal 31
(1) Dalam APBN dapat dialokasikan dana untuk langsung membiayai urusan Desentralisasi selain dari sumber penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Ketentuan pada ayat (1) hanya berlaku paling lama 2 (dua) tahun anggaran sejak diundangkannya Undang-undang ini.
(3) Pembiayaan langsung dari APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan Pasal 19 ayat (1).
(4) Setiap tahun anggaran, menteri-menteri teknis terkait menyusun laporan semua proyek dan kegiatan yang diperinci menurut:
sektor dan subsektor untuk belanja pembangunan;
unit organisasi departemen/lembaga pemerintah non departemen untuk pengeluaran rutin;
proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat, serta proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Daerah untuk semua belanja.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada DPR.
BAB XKETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah, Yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakartapada tanggal 19 Mei 1999PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakartapada tanggal 19 Mei 1999MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA,
ttd
PROF. DR. H. MULADI, S.H.

 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 72
 PENJELASANATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 25 TAHUN 1999TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARAPEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
UMUM
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggung-jawaban kepada masyarakat.
Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan, maka pemerintahan suatu negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi alokasi yang meliputi, antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi yang meliputi, antara lain, pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, karena Daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah. Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara jelas dan tegas.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan Daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di Daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Di samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam, kepada Daerah dapat dialokasikan Dana Darurat. Dengan demikian, Undang-undang ini selain memberikan landasan pengaturan bagi pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, juga memberikan landasan bagi perimbangan keuangan antar Daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan-keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal, agama, serta kewajiban pengembalian pinjaman Pemerintah Pusat.
Undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan yang bersumber dari penerimaan Daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan.
Dalam pengelolaan keuangan Daerah. Dalam hal pemeriksaan keuangan Daerah dilakukan oleh instansi pemeriksa fungsional. Di samping itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan sistem alokasi kepada Daerah, diatur pula sistem informasi keuangan daerah dan menetapkan Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang bertugas mempersiapkan rekomendasi mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tidak dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, karena antara lain beberapa faktor untuk menghitung pembagian keuangan kepada Daerah belum memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu, berbagai jenis pajak yang merupakan sumber bagi pelaksanaan perimbangan keuangan tersebut saat ini sudah tidak diberlakukan lagi melalui berbagai peraturan perundangan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam mendukung otonomi daerah, maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berdasarkan uraian di atas, Undang-undang ini mempunyai tujuan pokok antara lain :
Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah.
Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab (akuntabel), dan pasti.
Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi Daerah dengan penyelenggararaan pemerintahan daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan Daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi Daerah.
Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah.
Menjadi pedoman pokok tentang keuangan Daerah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini menegaskan arti beberapa istilah yang digunakan dalam Undang-undang ini, dengan maksud untuk menyamakan pengertian atas istilah-istilah tersebut, sehingga dapat dihindarkan kesalahpahaman dalam menafsirkannya.
Pasal 2
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dapat dilakukan dalam rangka Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah dalam rangka Desentralisasi dan Dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut.
Sementara itu, penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah dalam rangka Tugas Pembantuan disertai pengalokasian anggaran.
Pasal 3
Huruf aYang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh Daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dLain-lain penerimaan yang sah, antara lain, hibah, Dana Darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cJenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain, bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik Daerah.
Huruf dLain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain, hasil penjualan aset tetap Daerah dan jasa giro.
Pasal 5
Ayat (1)Jenis-jenis pajak Daerah dan retribusi Daerah disesuaikan dengan kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mengubah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)Dana Perimbangan yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Huruf aYang dimaksud dengan bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, antara lain, di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan, dan perikanan.
Huruf bPenggunaan dana ini ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah.
Huruf cCukup jelas
Ayat (2)Pembagian lebih lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)Pembagian lebih lanjut antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut:
Sektor kehutanan dibagi sebagai berikut:
1)  80% (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan perincian:
bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas persen);
bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64% (enam puluh empat persen).
2) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan dibagi dengan perincian:
bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas persen);
bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32%(tiga puluh dua persen);
bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen).
Sektor pertambangan umum dibagi sebagai berikut:
1) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) dibagi dengan perincian:
bagian Propinsi sebesar 16% (enam belas persen);
bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64% (enam puluh empat persen).
2) 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) dibagi dengan perincian:
bagian Propinsi sebesar 16%(enam belas persen);
bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen).
80% (delapan puluh persen) dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Ayat (6)
Huruf aBagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a ini dibagi dengan perincian sebagai berikut:
bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar 3% (tiga persen);
bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6% (enam persen);
bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen).
Huruf bBagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b ini dibagi dengan perincian sebagai berikut:
bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen);
bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);
bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Propinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen).
Pasal 7
Ayat (1)Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan jumlah seluruh alokasi umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Kenaikan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Daerah dalam rangka Desentralisasi.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Penyesuaian persentase sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditetapkan dalam APBN.
Ayat (4) dan Ayat (5)Rumus Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah:
Dana Alokasi Umum untuk satu Propinsi tertentu =
         Jumlah Dana Alokasi               Bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan            Umum untuk Daerah        X      .                                                                            .                Propinsi                                Jumlah bobot dari seluruh Daerah Propinsi
Ayat (6) dan Ayat (7)Rumus Dana Alokasi Umum sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini adalah:
Dana Alokasi Umum untuk satu Kabupaten/Kota tertentu =
        Jumlah Dana Alokasi               Bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan            Umum untuk Daerah        X                                                                                              .              Kabupaten/Kota                     Jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten/Kota
Ayat (8)Bobot Daerah ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris dengan memperhitungkan variabel-variabel yang relevan.
Kebutuhan wilayah otonomi Daerah paling sedikit dapat dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
Potensi ekonomi Daerah antara lain dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima Daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk Domestik Regional Bruto.
Ayat (9)Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah juga menyusun dan atau menjaga kemutakhiran data yang merupakan variabel dalam rumus tersebut. Dengan demikian Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai instansi yang objektif dan independen dapat menjaga keterbukaan dan transparansi dalam pengalokasian Dana Alokasi Umum.
Pasal 8
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf aKebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, adalah kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, dan kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer.
Huruf bTermasuk, antara lain, proyek yang dibiayai donor dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf aDana reboisasi sebagaimana dalam ayat (4) huruf a ini hanya digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh Daerah penghasil.
Huruf bDana reboisasi sebagaimana dalam ayat (4) huruf b ini digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi secara nasional oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (5)Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab Daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut, maka perlu penyediaan dana dari sumber APBD sebagai pendamping atas Dana Alokasi Khusus dari APBN.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain:
tata cara penghitungan dan penyaluran bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari pembagian Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sumber daya alam sektor kehutanan, sektor
pertambangan umum, sektor pertambangan minyak dan gas alam, dan sektor perikanan untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
rumus Dana Alokasi Umum yang memuat bobot Daerah Propinsi, bobot Daerah Kabupaten/Kota, mekanisme penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Dana Alokasi Khusus yang memuat persentase minimum dana pendamping, sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai, penggunaan Dana Alokasi Khusus, dan peranan menteri yang membidangi perencanaan pembangunan nasional dan menteri teknis terkait serta mekanisme penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 11
Ayat (1)Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau lembaga komersial dan/atau penerbitan obligasi Daerah.
Ayat (2) Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat mengandung pengertian bahwa Pemerintah Pusat akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan Pinjaman Daerah untuk diproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan Pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah Pusat atas usulan termaksud.
Ayat (3)Yang dimaksud dengan pinjaman jangka panjang adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, sebagian atau seluruhnya akan dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Jangka waktu pinjaman jangka panjang tersebut tidak boleh melebihi umur ekonomis prasarana tersebut.
Ayat (4)Yang dimaksud dengan pinjaman jangka pendek adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, akan dilunasi seluruhnya dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 12
Ayat (1)Persetujuan DPRD terhadap usulan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan Daerah untuk membayar dan batas maksimum pinjaman.
Ayat (2)Yang dimaksud dengan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya adalah kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran, baik atas kewajiban pinjaman tersebut maupun pengeluaran lainnya seperti gaji pegawai serta biaya operasional dan pemeliharaan.
Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman tersebut.
Pasal 13
Ayat (1)Batas jumlah Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman maksimum yang dapat diterima oleh Daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan Daerah untuk meminjam maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban pembayaran pinjaman.
Ayat (2)Penjaminan yang dimaksud pada ayat ini adalah penjaminan Daerah terhadap antara lain pinjaman perusahaan milik Daerah dan pinjaman swasta dalam rangka pelaksanaan proyek Daerah.
Ayat (3)Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, adalah Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Kepegawaian, Undang-undang Perbendaharaan Negara, dan KUHP.
Pasal 14
Ayat (1)Dengan menempatkan kewajiban Daerah atas pinjaman Daerah sebagai salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD, pemenuhan kewajiban termaksud diharapkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang harus diprioritaskan Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dengan demikian pemenuhan kewajiban atas pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan APBD tidak tercapai.
Ayat (2)Pelaksanaan ketentuan ayat ini dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan keuangan Daerah.
Pasal 15
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, jenis dan sumber pinjaman, sektor yang dapat dibiayai dengan dana pinjaman, batas maksimum pinjaman, jangka waktu pinjaman, dan tata cara mendapatkan pinjaman.
Pasal 16
Ayat (1)Yang dimaksud dengan keperluan mendesak adalah terjadinya keadaan yang sangat luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan pembiayaan dari APBD, yaitu bencana alam dan/atau peristiwa lain yang dinyatakan Pemerintah Pusat sebagai bencana nasional.
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)Kewenangan dan tanggung jawab sehubungan dengan pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai APBN dan perbendaharaan negara. Dana pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi tersebut tidak merupakan penerimaan APBD.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Cukup jelas
Ayat (6)Cukup jelas
Ayat (7)Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan pelaksanaan Dekonsentrasi oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan, sesuai dengan mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pasal 18
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Cukup jelas
Ayat (6)Cukup jelas
Ayat (7)Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, bentuk dan struktur Anggaran Tugas Pembantuan, pengalokasian dan pengadministrasian keuangan pelaksanaan Tugas Pembantuan oleh Gubernur beserta perangkatnya, yang meliputi sistem dan prosedur perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan/pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan, sesuai mekanisme keuangan Negara yang berlaku bagi APBN.
Pasal 19
Ayat (1)Yang dimaksud dengan dicatat dan dikelola dalam APBD termasuk dicatat dan dikelola dalam perubahan dan perhitungan APBD.
Ayat (2)Ketentuan ini untuk menjamin bahwa semua penerimaan dan pengeluaran yang dikelola Gubernur atau Bupati/Walikota dengan perangkatnya digolongkan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi atau dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi atau dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Sebagai contoh pungutan Puskesmas merupakan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dan diadministrasikan dalam APBD.
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 21
Ketentuan Pasal ini berarti Daerah tidak boleh menganggarkan pengeluaran tanpa kepastian terlebih dahulu mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya dan mendorong Daerah untuk meningkatkan efisiensi pengeluarannya.
Pasal 22
Ayat (1)Ketentuan ayat ini memberi peluang kepada Daerah apabila diperlukan untuk membentuk dana cadangan bagi kebutuhan pengeluaran yang memerlukan dana relatif cukup besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Ayat (2)Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran lebih tahun lalu dan/atau sumber pendapatan Daerah.
Ayat (3)Peraturan Daerah tersebut, antara lain, menetapkan tujuan dana cadangan, sumber pendanaan dana cadangan, dan jenis pengeluaran yang dapat dibiayai dengan dana cadangan tersebut.
Ayat (4)Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbuka, tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD.
Diadministrasikan dalam APBD berarti dicatat saldo awal, semua penerimaan dan pengeluaran, serta saldo akhir dalam bentuk rincian dana cadangan tersebut.
Pasal 23
Ayat (1)Pokok-pokok muatan Peraturan Daerah tersebut, antara lain, kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD, kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD, prinsip-prinsip pengelolaan kas, otorisasi pengeluaran kas, tata cara pengadaan barang dan jasa, prosedur melakukan pinjaman, dan pertanggungjawaban keuangan.
Ayat (2)Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah meliputi, antara lain, struktur organisasi, dokumentasi, dan prosedur terperinci dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan, yang bertujuan untuk mengoptimalkan efektivitas, efisiensi, dan keamanan. Selain itu, sistem dan prosedur tersebut harus dapat menyediakan informasi kepada Pemerintah Pusat secara akurat dan tepat pada waktunya.
Pasal 24
Ayat (1)Laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut dinyatakan dalam satu bentuk laporan.
Ayat (2)Penolakan laporan oleh DPRD harus disertai dengan alasannya.
Proses lebih lanjut dari penolakan pertanggungjawaban Kepala Daerah tersebut mengikuti mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain:
prinsip-prinsip bagi transparansi dan akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan, dan perhitungan APBD, pengelolaan kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi, dan sebagainya, serta pedoman bagi sistem dan prosedur pengelolaan;
pedoman laporan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan standar akuntansi Pemerintah Daerah, serta persentase jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan pemerintahan umum.
Pasal 27
Ayat (1)Sumber informasi bagi sistem informasi keuangan Daerah terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Pokok-pokok muatan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, antara lain, instansi yang bertanggung jawab menyusun dan memelihara sistem informasi keuangan Daerah, prosedur perolehan informasi yang diperlukan, dan tata cara penyediaan informasi kepada instansi pemerintah dan masyarakat.
Pasal 28
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, jenis informasi, bentuk laporan informasi, tata cara penyusunan, dan penyampaian informasi kepada Menteri teknis terkait.
Pasal 29
Ayat (1)Rekomendasi tersebut, antara lain, mengenai penentuan besarnya Dana Alokasi Umum untuk tiap-tiap Daerah berdasarkan rumus yang telah ditetapkan dan kebijakan pembiayaan Daerah.
Ayat (2)Pokok-pokok muatan Keputusan Presiden tersebut, antara lain, jumlah dan kualifikasi anggota, tata cara pengangkatan, masa kerja, serta tugas dan tanggung jawab anggota Sekretariat.
Pasal 30
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)Ayat ini memungkinkan pengalokasian dana APBN guna membiayai urusan Desentralisasi secara langsung untuk masa peralihan dua tahun anggaran. Ketentuan ini, antara lain, memungkinkan dana APBN untuk menyelesaikan proyek yang pelaksanaannya telah dimulai dengan dana APBN sektoral sebelum berlakunya Undang-undang ini. Ketentuan ini bertujuan untuk mengurangi secara bertahap, dalam jangka waktu dua tahun tersebut, jumlah anggaran pembiayaan urusan Desentralisasi yang sebelumnya dibiayai langsung dari Pusat melalui departemen teknis.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Yang dimaksud dengan setiap tahun anggaran dalam ketentuan ini adalah untuk 2 (dua) tahun anggaran dalam masa peralihan.
Ayat (5)Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3848

UU 22/1999 TTG PEMDA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kcleluasaan kepada Daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah;
b. bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
Daerah;
c. bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar
negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan
Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip- prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta
potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037) tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan
perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
e. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran
Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak
sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta
menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu
diganti;
f. bahwa berhubung dengan itu, perlu ditetapkan Undang-undang mengenai
Pemerintahan Daerah untuk mengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pekok-pokok Pemerintahan Di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa.
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/
1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan
dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/
1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/
1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3811);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKIIAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal l
Dalam Undang-undang. ini yang dimaksud dengan:
a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari.Presiden beserta para Menteri.
b. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang
lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
C. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Selanjutnya disebut DPRD adalah Badan
Legislatif Daerah.
d. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.
e. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kcsatuan Republik Indonesia.
f. Dekonsentrazi, adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
g. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan
dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaanaya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang
menugaskan.
h. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
i. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu,berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
j. Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah.
k. Instansi Vertikal adalah perangkat Departemen dan atau Lembaga Pemerintah
Non Departemen di Daerah.
1. Pejabat yang berwenang adalah pejabat Pemerintah di tingkat Pusat dan atau
pejabat Pemerintah di Daerah Propinsi yang berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
m. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.
n. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan/
atau Daerah Kota di bawah Kecamatan.
o. Desa atau yang discbut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada
di Daerah Kabupaten.
p. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,
dan (2)Pembentukau, nama, batas, dan ibukota kegiatan ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Undang.
q. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasaserta perubahan nama dan pemindahan ibukota
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
BAB II
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal 2
(1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi,
Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom,
(2) Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.
Pasal 3
Wilayah Daerah Propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua batas mil laut yang diukur
dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
BAB III
PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN DAERAH
Pasal 4
(1) Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
(2) Daerah-daerah sebagaimana pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan
tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama Lain.
Pasal 5
(1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi Daerah,
sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas Daerah, dan
pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
(2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ekonomi.
(3) Perubahan,batas yang tidak mengakibatkan ghapusan suatu Daerah, perubahan
nama Daerah, serta perubahan nama daerah, serta perubahan nama dan
pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
(4) Syarat-syarat pembentukan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan
atau digabung dengan Daerah lain.
(2) Daerah dapat dimckarkan menjadi lebih dari satu Daerah.
(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran Daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Undang-undang.
BAB IV
KEWENANGAN DAERAH
Pasal 7
(1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamananan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi
negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
pasal 8
(1) Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan penngalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan tersebut.
(2) Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka
dekosentrasi harus disertai dengan pcmbiayaan sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan tersebut.
Pasal 9
(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam
bidang pemerintahan tertentu lainnya.
(2) Kewenangan propinsi sebagai Daerah Otononi termasuk juga kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
(3) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Pasal 10
(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
meliputi:
a. eksplorasi, eksploitas4 konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut;
b. pengaturan kepentingan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oieh Pemerintah; dan
f. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah
Propinsi.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan
pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang
diatur dalam Pasal 9.
(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Pasal 12
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dan Pasal 9 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka
tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung
jawabkannya kepada Pemerintah.
(2) Setiap penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
peraturan pcrundang-undangan.
BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH
Bab Kesatu
Umum
Pasal 14
(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah
Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.
(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala, Daerah beserta perangkat Daerah
lainnya.
Bagian Kedua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 15
Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat
kelengkapan DPRD diatur dengan Undang-undang.
Pasal 16
(1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk
melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
(2) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
dari Pemerintah Daerah.
Pasal 17
(1) Keanggotaan DPRD dan jumlah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi, dan panitia-
panitia.
(3) DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD.
(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 18
(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
a. memilih Guberaur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota;
b. memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Daerah;
C. mengusulkan pcngangkatan dan pemberhentian Gubcrnur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota;
d. bersama dengan Gubcrnur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;
e. bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
f. melaksanakan pengawasan terhadap:
1). Pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain;
2). Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati,dan Walikota;
3). pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
4). kebijakan Pemerintah Daerah; dan
5). pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah.
g. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana
perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan Daerah; dan.
h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 19
(1) DPRD mempunyai hak:
a. meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;
b. meminta keterangan kepada Pemerintah
Daerah;
C. mengadakan penyelidikan;
d. mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah;
e. mengajukan pernyataan pendapat;
f. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;
g. mengajukan Anggaran Belanja DPRD; dan
h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.
(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPRD.
Pasal 20
(1) DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat
pemerintah, atau warga maryarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu
hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan
pembangunan.
(2) Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak
permintaan, sebagai dimaksud pada ayat (1), diancam dengan pidana kurungan
paling lama satu tahun karcna meren-
dahkan martabat dan kehormatan DPRD.
(3) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 21
(1) Anggota DPRD mempunyai hak:
a. pengajuan pertanyaan;
b. protokoler; dan
e. keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPRD.
Pasal 22
DPRD mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan;
C. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi;
dan
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan
masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Pasal 23
(1) DPRD mengadakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya enam kali dalam
setahun.
(2) Kecuali yang dimaksud pada ayat (1), atas permintaan sekurang-kurangnya
seperlima dari jumlah anggota atau atas pcrmintaan Kepala Daerah, Ketua
DPRD dapat mengundang anggotanya untuk mengadakan rapat selambat-lambatnya
dalam waktu satu bulan setelah permintaan itu diterima.
(3) DPRD mengadakan rapat atas undangan Ketua DPRD.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 24
Peratura Tata Tertib DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD.
Pasal 25
Rapat-rapat DPRD bersifat tcrbuka untuk umum, kecuali yang dinyatakan
tertutup berdasarkan Peraturan Tata Tcrtib DPRD atau atas kesepakatan di antara
pimpinan DPRD.
Pasal 26
Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai:
a. pemilihan Ketua/Wakil Ketua DPRD;
b. pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
C. pemilihan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan Daerah;
d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
e. penetapan perubahan dan pcnghapusan pajak dan retribusi;
f. utang piutang, pinjaman, dan pembebanan kepada Daerah;
g. Badan Usaha Milik Daerah;
h. penghapusan tagihan sebagian atau seluruhnya;
i. persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; dan
j. kebijakan tata ruang.
Pasal 27
Anggota DPRD tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan dan atau
pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD, baik terbuka maupun tertutup, yang
diajukannya secara lisan atau tertulis, kecuali jika yang bersangkutan
mengumumkan ada yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau
hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam
buku Kedua Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 28
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilaksanakan atas
persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Propinsi dan
Gubernur bagi anggota DPRD Kabupaten dan Kota, kecuali jika yang
bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
(2) Dalam hal auggota DPRD tertangkap tangan melakukan tindak pidana,
sebagaimana dimaksud Gubernur berada di bawah dan bertanggungjawab
pada ayat (1), selambat-lambatnya dalam tempo 2 kali 24 jam diberitahukan
secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri dan/atau Gubernur.
Bagian Ketiga
Sekretariat DPRD
Pasal 29
(1) Sekretariat DPRD membantu DPRD dalam menyelenggarakan tugas dan
kewenangannya.
(2) Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD yang diangkat oleh
Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas
persetujuan pimpinan DPRD.
(3) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada pimpinan DPRD.
(4) Sekretaris DPRD dapat menyediakan tenaga ahli dengan tugas membantu anggota
DPRD dalam menjalankan fungsinya.
(5) Anggaran Belanja Sekretariat DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD dan
dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bagian Keempat
Kepala Daerah
Pasal 30
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif
yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.
Pasal 31
(1) Kepala, Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga
sebagai wakil Pemerintah.
(2) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubcrnur
bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi.
(3) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, gubernur berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada gubernur
(5) Tata cari pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 32
(1) Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati
(2) Kepala Daerah Kota disebut Walikota.
(3) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota
bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.
(4) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), ditetapkan dalam Peraturan Tata Tcrtib DPRD sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 33
Yang dapat ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik
Indonesia dengan syarat-syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah
yang sah;
c. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuau
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau
sederajat;
e. berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;
h. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
i. tidak sedang dicabut bak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri;
j. mengenai daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
k. menyerahkan daftar kckayaan pribadi; dan
1. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
Pasal 34
(1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD
melalui pemilihan secara bersamaan.
(2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD
melalui tahap pencalonan dan pemilihan.
(3) Untuk pcncalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
dibentuk Panitia Pemilihan.
(4) Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil
Ketua panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota.
(5) Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan,
tetapi bukan anggota.
Pasal 35
(1) Panitia pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), bertugas:
a. melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakat calon berdasarkan
persyaratan yang telah ditetapkan dalam ;
b. melakukan kegiatan teknis peiiailihan calon ; dan
c. menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilihan.
(2) Bakal calon Kepala Daerah dan-bakal calon Wakil Kepala Daerah yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia
Pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan kepada DPRD untuk
Ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah.
Pasal 36
(1) Setiap fraksi melakukan kegiatan penyaringan pasangan bakal calon sesuai
dengan syarat yang ditetapkan dalam Pasal 33.
(2) Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon
Wakil Kepala Daerah dan menyampaikannya dalam rapat paripurna kepada
pimpinan DPRD.
(3) Dua fraksi atau lebih dapat secara bersama-sama mengajukan pasangan bakal
calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 37
(1) Dalam Rapat Paripurna DPRD, setiap fraksi atau beberapa fraksi memberikan
penjelasan mengenai bakal calonnya.
(2) Pimpinan DPRD mengundang bakal calon dimaksud untuk menjelaskan visi, misi,
serta rencana-rencana kcbijakan apabila bakal calon dimaksud terpilih sebagai
Kepala Daerah.
(3) Anggota DPRD dapat melakukan tanya jawab dengan para bakal calon.
(4) Pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atas kemampuan
dan kepribadian para bakal calon dan melalui musyawarah atau pemungutan suara
menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang calon Kepala Daerah dan calon Wakil
Kepala Daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh DPRD.
Pasal 38
(1) Nama-nama, calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan
oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden.
(2) Nama-nama calon-Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon
Wakil Walikota yang akan dipilih oieh DPRD ditetapkan dengan keputusan
pimpinan DPRD.
Pasal 39
(1) Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan
dalam Rapat Paripur na DPRD yang dihadiri oleh sckurang-kurangnya
dua pertiga dari jumlah anggota DPRD.
(2) Apabila jumlah anggota DPRD belum mencapai kuorum, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pimpinan rapat dapat menunda rapat paling lama satu jam.
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), belum dicapai, rapat
paripurna diundur paling lama satu jam Lagi dan selanjutnya pemilihan calon
Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah
tetap dilaksanakan.
Pasal 40
(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
(2) Setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon
Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dari pasangan calon yang
telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (4).
(3) Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh
suara terbanyak pada pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan
disahkan oleh Presiden.
Pasal 41
Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal 42
(1) Kepala Daerah dilantik oieh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
bertindak atas nama Presiden.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengueapkan sumpah/janji.
(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya selaku Gubernur/
Bupati/walikota dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya; dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan selalu taat dalam mengenalkan dan mempertahankan Pancasila
sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta segala peraturan
perundang-undwigan yang berlaku bagi Daerah dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
(4) Tata cara pengucapan sumpah/janji dan pelantikan bagi Kepala Daerah
ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kelima
Kewajiban Kepala Daerah
Pasal 43
Kepala Daerah mempunyai -kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;
b. memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. menghormati kedaulatan rakyat;
d. menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
e. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;
f. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;. dan
g. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan
Daerah bersama dengan DPRD.
Pasal 44
(1) Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
(2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggungjawab
kepada DPRD.
(3) Kepala Daerahlah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan
tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah
Kota, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu
oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden.
Pasal 45
(1) Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggung jawaban kepada DPRD pada setiap
akhir tahun anggaran.
(2) Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal
tertentu atas permintaan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).
Pasal 46
(1) Kepala Daerah yang ditolak pertanggungiawabannya, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45, baik pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun
pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau menyempurnakannya
dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari.
(2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan
pertanggungjawabannya menyampaikannya, kembali kepada DPRD, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Bagi Kepala Daerah yang pcrtanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya,
DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden.
(4) Tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 47
Kepala Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa untuk mewakilinya.
Bagian Keenam
larangan bagi Kepala Daerah
Pasal 48
Kepala Daerah dilarang:
a. turut serta dalam swata-perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara
Daerah, atau dalam yayasan bidang apapun juga;
b. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya,
anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok yang secara
nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga dan golongan
masyarakat lain;
C. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan Daerah
yang bersangkutan;
d. menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat hidup
mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan
e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, selain
yang dimaksud dalam Pasal 47.
Bagian Ketujuh
Pemberhentian Kepala Daerah
Pasal 49
Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;
c. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;
e. melanggar sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3);
f. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; dan
g. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan
tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD.
Pasal 50
(1) Pemberhentian kepala daerah karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 49 ditetapkan dengan keputusan DPRD dan disahkan oleh presiden
(2) Keputusan DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota, DPRD dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah
anggota yang hadir.
Pasal 51
Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD
apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, yang diancam, dengan hukuman
lima tahun atau.lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 52
(1) Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberhentikan untuk
sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD.
(2) Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah
belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diberhentikan
dari jabatannya oleh Presiden, tanpa persetujuan DPRD.
(3) Kepala Daerah yang setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti
melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik, Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diaktifkan kembali
Dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah sampai akhir masa jabatannya.
Pasal 53
(1) DPRD memberitahukan akan berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah secara
tertulis kepada yang bersangkutan, enam bulan sebelumnya.
(2) Dengan adanya pemberitahuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Daerah mempersiapkan pertanggungjawaban akhir masa jabatannya kepada DPRD
dan menyampaikan pertanggungjawaban tersebut selambat-lambatnya empat bulan
setelah pemberitahuan.

(3) Selambat-lambatnya satu bulan sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir,
DPRD mulai memproses pemilihan Kepala Daerah yang baru.
Pasal 54
Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh DPRD, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53, tidak dapat dicalonkan kembali sebagai Kepala Daerah
dalam masa jabatan berikutnya.
Bagian Kedelapan
Tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah
Pasal 55
(1) Tindakan pcnyidikan terhadap Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih; dan
b. dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
hukuman mati.
(3) Setelah tindakan penyidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
hal itu harus dilaporkan kepada Presiden selambat-lambatnya dalam 2 kali
24 jam.
Bagian Kesembilan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 56
(1) Di setiap Daerah terdapat seorang Wakil Kepala Daerah.
(2) Wakil Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk,
bersamaan dengan pelantikan Kepala Daerah.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji.
(4) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan menentukan
kewajiban saya selaku Wakil Gubernur/Wakil Bupati/wakil Walikota dengan
sebaik-baiknja sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya, bahwa saya akan selalu
taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi negara serta segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi Daerah dan Negara kesatuan Republik Indonesia".
(5) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 41, Pasal 43,
kecuali huruf g, Pasal 47 sampai dengan Pasal 54, berlaku juga bagi Wakil
Kepala Daerah.
(6) Wakil Kepala Daerah Propinsi disebut Wakil Gubernur, Wakil Kepala Daerah
Kabupaten disebut Wakil Bupati dan Wakil Kepala Daerah Kota disebut
Wakil Walikota.
Pasal 57
(1) Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas:
a. membantu.Kcl)ala Daerah dalam melaksanakan kcwajibannya;
b. mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Daerah; dan
c. melaksanakan'tugas-tups lain yang diberikan oieh Kepala Daerah.
(2) Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.
(3) Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah
apabila Kepala Daerah berhalangan.
Pasal 58
(1) Apabila Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Kepala Daerah diganti
oleh Wakil Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya.
(2) Apabila Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Wakil Kepala Daerah
tidak diisi.
(3) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, sekretaris
Daerah melaksanakan tugas Kepala Daerah untuk sementara waktu.
(4) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, DPRD
menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selambat-
lambatnya dalam waktu tiga bulan.
Bagian Kesebelas
Perangkat Daerah
Pasal 60
Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan
lembaga teknis Daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan Daerah.
Pasal 61
(1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
(2) Sekretaris Daerah Propinsi diangkat oleh Gubernur alas persetujuan pimpinan
DPRD dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
(3) Sekretaris Daerah Propinsi karena jabatannya adalah Sekretaris Wilayah
Administrasi.
(4) Sekretaris Daerah Kabupaten atau Sekretaris Daerah Kota diangkat oleh Bupati
atau Walikota atas persetujuan pimpinan DPRD dari Pegawai Negeri Sipil
yang memenuhi syarat.
(5) Sekretaris Daerah berkewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun
kebijakan serta membina hubungan kerja dengan dinas, lembaga teknis, dan
unit pelaksana lainnya.
(6) Sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
(7) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas
Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala (3)
Daerah.
Pasal 62
(1) Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah.
(2) Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang diangkat oleh Kepala Daerah
dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat alas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Pasal 63
Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur
selaku wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi.
Pasal 64
(1) Penyelenggaraan bidang pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dilakukan oleh instansi vertikal.
(2) Pembentukan, susunan organisasi, formasi dan tata laksananya, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 65
Di Daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan Daerah.
Pasal 66
(1) Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin
oleh Kepala Kecamatan.
(2) Kepala Kecamatan disebut Camat.
(3) Camat diangkat oleh Bupati/Walikota alas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/
kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
(4) Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/
Walikota.
(5) Camat bertanggungjawab kepada Bupati atau Walikota.
(6) Pembentulan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 67
(1) Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan.
(2) Kepala Kelurahan disebut Lurah.
(3) Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/
Bupati atas usul Camat.
(4) Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.
(5) Lurah bertanggung jawab kepada Camat.
(6) Pembentukan Kelurahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 68
(1) Susunan organisasi perangkat Daerah ditetapkan (1) Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman
yang ditetapkan Pemerintah.
(2) Formasi dan persyaratan jabatan perangkat Daerah (2) ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
BAB VI
PERATURAN DAERAH DAN KEPUTUSAN
KEPALA DAERAH
Pasal 69
Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 70
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan
Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 71
(1) Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan hukum seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.
(2) Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk Daerah, kecuali jika
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1) Untuk melaksanakan Peraturan Dacrah dan alas kuasa peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala
Daerah.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, peraturan daerah, dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Pasal 73
(1) Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur
diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal 74
(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan
Daerah dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dengan Peraturan Daerah dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas
untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan
Daerah.
BAB VII
KEPEGAWAIAN DAERAH
Pasal 75
Norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun gaji , tunjungan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta
kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil di Daerah dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,
ditetapkan dengan pcraturan perundang-undangan.
Pasal 76
Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai,
serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Pemerintah Wilayah Propinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi
kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB VIII
KEUANGAN DAERAH
Pasal 78
(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari dan atas bebas
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 79
Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli Dacrah, yaitu:
1) hasil pajak Daerah;
2) hasil retribusi Daerah;
3) hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah
yang dipisahkan; dan
4) lain-lain pcndapatan asli Daerah yang sah;
b. dana perimbangan;
c. pinjaman Daerah; dan
d. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Pasal 80
(1) Dana perimbangan, sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 79, terdiri atas:
a. bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
b. dana alokasi umum; dan
c. dana alokasi khusus.
(2) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan,
perkotaan, dan perkebunan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diterima langsung oleh Daerah
penghasil.
(3) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan
serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, diterima oleh, Daerah penghasil dan Daerah lainnya
untuk pemerataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 81
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri dan/
atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan
persetujuan DPRD.
(2) Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan dilaksanakan
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mendapatkan persetetujuan
Pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tata cara peminjaman, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 82
(1) Pajak dan retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) Penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 83
(1) Untuk mendorong pemberdayaan Daerah, Pemerintah memberi intensif fiskal dan
nonfiskal tertentu.
(2) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 84
Daerah dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan pembentukannya diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 85
(1) Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak
dapat digadaikan, dibebani hak tanggungan dan/atau dipindahtangankan.
(2) Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan keputusan tentang:
a. penghapusan tagihan Daerah sebagian atau seluruhnya;
b. persetujuan penyelesaian sengketa perdata secara damai; dan
c. tindakan hukum lain mengenai barang milik Daerah.
Pasal 86
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran
berakhir.
(3) Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran yang bersangkutan.
(4) Pedoman tentang penyusunan, perubahan, dan perhitungan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Dacrah disampaikan kepada Gubernur bagi Pemerintah Kabupaten/Kota
dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi Pemerintah Propinsi
untuk diketahui.
(6) Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan kcuangan
Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pcndapatan dan Belanja Dacrah,
pelaksanaan tata usaha keuangan Dacrah dan penyusunan perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Dacrah ditetapkan sesuai dcngan peraturan perundang-
undangan.
BAB IX
KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 87
(1) Beberapa Daerah dapat mengadakan kerjasama antar Daerah yang diatur dengan
keputusan bersama.
(2) Daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama Antar Daerah.
(3) Daerah dapat mengadakan kerja sama dengan badan lain yang diatur dengan
keputusan bersama.
(4) Keputusan bersama dan/atau kerjasama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan Daerah harus
mendapatkan persctujuan DPRD masing-masing.
Pasal 88
Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/
badan luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut
kewenangan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Tata cara, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 89
(1) Perselisihan antar Daerah diselesaikan oleh Pemerintah secara musyawarah.
(2) Apabila dalam penyelesaian perselisihan antar Daerah, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan
Pemerintah, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian kepada Mahkamah
Agung.
BAB X
KAWASAN PERKOTAAN
Pasal 90
Selain Kawasan Perkotaan yang berstatus Daerah Kota, perlu ditetapkan
Kawasan Perkotaan yang terdiri atas:
a. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian Daerah Kabupaten;
b. Kawasan Perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah
Kawasan Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan; dan
C. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah yang
berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.
Pasal 91
(1) Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Kabupaten yang wilayahnya berbatasan
langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola Kawasan perkotaan.
(2) Di Kawasan Perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi Kawasan
Perkotaan di Daerah Kabupaten, dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan
yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan hal-hal lain
mengenai pengelolaan Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 92
(1) Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah
perlu mengikut sertakan masyarakat dan pihak swasta.
(2) Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan
upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan.
(3) Pengaturan mengenai Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
BAB XI
D E S A
Bagian Pertama
Pembentukan, Penghapusan dan/atau
Penggabungan Desa
Pasal 93
(1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan
asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah
Kabupaten dan DPRD.
(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 94
Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan
Pemerintahan Desa.
Bagian Kedua
Pemerintah Desa
Pasal 95
(1) Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
dan perangkat Desa.
(2) Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa dari calon yang memenuhi
syarat.
(3) Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa
dan disahkan oleh Bupati.
Pasal 96

Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa
jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 97
Yang dapat dipilih menjadi Kepala Desa adalah penduduk Desa warga negara
Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
C. tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang
mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, G30S/PKI dan/atau
kegiatan organisasi terlarang lainnya;
d. berpendidikan sckurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau
berpengetahuan yang sederajat;
e. berumur sekurang-kurangnya 25 tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;
h. berkelakuan baik, jujur, dan adil;
i. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
j. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Desa setempat;
1. bersedia dicalonkan menjadi Kepala desa; dan
m. memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur
dalam Peraturan Daerah.
Pasal 98
(1) Kepala Desa dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk.
(2) Sebelum memangkujabatannya,Kepala Desa mengucapkan sumpah/janji.
(3) Susunan kata-kata sumpal/janji dimaksud adalah sebagai berikut:
"Demi Allah (Tithan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi
kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya,
dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan
menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi negara setia segala peraturan perundang~undangan yang berlaku
bagi Desa, Daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 99
Kewenangan Desa mencakup:
a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;
b. kewenangan yang oleh peraturan pcrundang-undangan yang berlaku belum
dilaksanakan o1eh Daerah dan Pemerintah; dan
c. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah
Kabupaten.
Pasal 100
Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah
Kabupaten kepada Desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia.
Pasal 101

Tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah:
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa;
b. membina kehidupan masyarakat Desa;
C. membina perekonomian Desa;
d. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
e. mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa; dan mewakili Desanya di dalam
dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.
Pasal 102
Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101, Kepala Desa:
a. bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa; dan
b. menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
Pasal 103
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;
c. tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/janji;
d. berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa yang baru; dan
e. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku izin/atau norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Desa.
(2) Pemberhentian Kepala Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa.
Bagian Ketiga
Badan Perwakilan Desa
Pasal 104
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi
adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pasal 105
(1) Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang
memenuhi persyaratan.
(2) Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota.
(3) Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.
(4) Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Bagian Keempat
Lembaga Lain
Pasal 106
Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan
ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Bagian Kelima
Keuangan Desa
Pasal 107
(1) Sumber pendapatan Desa terdiri atas:
a. pendapatan asli desa yang meliputi:
1. hasil usaha desa;
2. hasil kekayaan desa;
3. hasil swadaya dan partisipasi;
4. hasil gotong royong; dan
5. lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
b. bantuan pemerintah kabupaten yang meliputi:
1). bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah; dan
2). bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
oleh pemerintah kabupaten;
c. bantuan dari pemerintah dan pemerintah propinsi;
d. sumbangan dari pihak ketiga; dan
e. pinjaman desa.
(2) Sumber pendapatan desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui
anggaran pendapatan dan belanja desa.
(3) Kepala desa bersama Badan Perwakilan Desa menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja desa setiap tahun dengan peraturan desa.
(4) Pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa ditetapkan oleh bupati.
(5) Tatacara dan pungutan objek pendapatan dan belanja desa dan badan perwakilan
desa.
Pasal 108
Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Kerja Sama Antar Desa
Pasal 109
(1) Beberapa Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan Desa yang diatur
dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada Camat.
(2) Untuk pciaksanaan kerja sama, scbagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dibentuk Badan Kerja Sama.
Pasal 110
Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan
bagian wilayah Desa menjadi wilayah permukiman, industri, dan jasa wajib
mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasannya.
Pasal 111
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai Desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten, sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh Pemerintah
berdasarkan undang-undang ini.
2) Peraturan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), wajib mengakui dan
menghormati hak, asal-usul dan adat istiadat Dcsa.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1) Dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi
Daerah.
2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi
Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 113
Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
disampaikan kepada Pemerintah selabat-lambatnya lima belas hari setelah
ditetapkan.
Pasal 114
(1) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan
lainnya.
(2) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan kepada Daerah yang
bersangkutan dengan mcnyebutkan alasan-alasannya.
(3) Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat(2),
Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tersebut dibatalkan
pelaksanaannya.
(4) Daerah yang tidak dapat mcnerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
mengajukan kcbcratan kcpada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada
Pemerintah.
BAB XIII
DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH
Pasal 115
(1) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertugas memberikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai:
a. pembentukan, penghapusan, penggabungan,dan pemekaran Dcsa;
b. perimbangan keuangan Pusat dan Daerah; dan
c. kemampuan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota untuk melaksanakan kewenangan
tertentu, sebagaiinana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah terdiri atas Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, menteri lain sesuai dengan kebutuhan,
perwakilan Asosiasi Pemerintah Daerah,dan wakil-wakil Dacrah yang dipilih
oleh DPRD.
(3) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan karena jabatannya adalah Ketua
dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(4) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengadakan rapat sekurang-kurangnya satu
kali dalam enam bulan.
(5) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertanggungjawab kepada Presiden.
(6) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 116
Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dibantu oleh
Kepala Sekretariat yang membawahkan Bidang Otonomi Daerah dan Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 117
Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta karena kedudukannya diatur
tersendiri dengan Undang-undang.
Pasal 118
(1) Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dapat diberikan otonomi khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi khusus, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 119
(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, berlaku juga di kawasan otoritas yang terletak di Daerah
Otonom, yang mcliputi badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan bandar
udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan,kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan,kawasan, pariwisata, kawasan jalan bebas
hambatan,dan kawasan lain yang sejenis.
(2) Pengaturan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
dengan Peraturan Pemcrintah.
Pasal 120
(1) Dalam rangka menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum serta
untuk menegakkan Peraturan Daerah dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja
sebagai perangkat Pemerintah Daerah.
(2) Susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas, dan
kewajiban Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 121
Sebutan Propinsi Daerah Tingkat I, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan
Kotamadya Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1974, berubah masing-masing menjadi Propinsi, Kabupaten, dan Kota.
Pasal 122
Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada
undang-undang ini.
Pasal 123
Kewenangan Daerah, baik kewenangan pangkal alas dasar pembentukan
Daerah maupun kewenangan tambahan alas dasar Peraturan Pemerintah dan/atau
dasar peraturan perundang-undangan lainnya,penyelenggaraannya disesuaikan
dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
Pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas dan ibukota Propinsi
Daerah Tingkat I, Daerah Istimewa, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan Kotamadya
Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
adalah tetap.
Pasal 125
(1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Simuelue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi
Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undang-undang ini.
(2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya undang-undang
ini, Kotamadya,Kabupaten, dan Kota Administratif, scbagaimana dimaksud
pada ayat (1), sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 UU ini.
(3) Kotamadya, Kabupatenan dan Kota Administratif,sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat dihapus jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan
statusnya mcnjadi Dacrah Otonom.
Pasal 126
(1) Kecamatan, Kelurahan, dan Desa yang ada pada saat mulai berlakunya
undang-undang ini tetap sebagai Kecamatan, Kelurahan, dan Desa atau yang
disebut dengan nama lain, sebagainiana yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf
m, huruf n, dan huruf o undang-undang ini, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan pcrundang-undangan.
(2) Desa-desa yang ada dalam wilayah Kotamadya ,Kotamadya Administratif, dan
Kota Administratif berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat
mulai bcrlakunya undang-undang ini ditetapkan sebagai Kelurahan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf n undang-undang ini.
Pasal 127
Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini, seluruh
instruksi, petunjuk atau pedoman yang ada atau yang diadakan olch Pemerintah
dan Pemerintah Daerah j1ka tidak bertentangan dengan undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 128
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II,
Wakil Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Wakil Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II, Bupati,Walikotamadya, Walikota, Camat, Lurah, dan Kepala Desa
beserta perangkatnya yang ada, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, pada saat mulai
berlakunya undang-undang ini tetap menjalankan tugasnya, kecuali ditentukan
lain berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 129
(1) Dengan diberlakukannya undang-undang ini, Lembaga Pembantu Gubernur,
Pembantu Bupati, pembantu Walikotamadya, dan Badan Pertimbangan
Daerah, sebagaimana dimaksud dalain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,
dihapus.
(2) Instansi verlikal di Daerah selain yang menangani bidang-bidang luar
negeri, pertahanan keamanan,peradilan, moneter, dan fiskal, serta agama,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, menjadi perangkat Daerah.
(3) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat Daerah, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2),kekayaannya dialihkan menjadi milik Daerah.
Pasal 130
(1) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih awal daripada
masa jabatan Kepala Daerah, jabatan wakil Kepala Daerah tidak diisi.
(2) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih lambat dari
pada masa jabatan Kepala Daerah, masa jabatan Wakil Kepala Daerah
disesuaikan dengan masa jabatan Kepala Daerah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 131
Pada saat bcrlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku
lagi:
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tcntang Pemeritahan Desa
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lcmbaran Negara Nomor
3153).
Pasal 132
(1) Undang-undang ini sudah selesai sclambat-lambatnya satu tahun sejak
undang-undang ini ditetapkan.
(2) Pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara efektif selambat-
lambatnya dalam waktu dua tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini.
Pasal 133
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak
sesuai dengan undang-undang ini, diadakan penyesuaian.
Pasal 134
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundang.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANJUNG
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
a. Negara Republik Indonesia scbagai Negara Kcsatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan
kesempatan dan perluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945,
antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk dan susuna pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-undang.
Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain dikemukakan bahwa "oleh
karena Negara Indoncsia itu suatu eenheidsstaat,maka Indonesia tidak
akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah
Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah
yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenscahppen) atau
bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun,
pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
b. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang
kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,sebagaimana tertuang
dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Kcuangan Pusat dan
Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. Undang-undang ini discbut "Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah"
karena undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
desentralisasi.
d. Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas,
Penyelenggaraan Otonomi Dacrah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kepada Daerah
secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu,
penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-
prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan,
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
e. Hal-hal yang menclasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk
memberdayakan masyarakat, mcnumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, undang-undang
ini menempatkan Otonami Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya
Daerah Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut
berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan
keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut
prakarsa dan aspirasi masyarakat.
f. Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,
dalam undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan
sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang
melaksanakan kewenangan pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada
Gubernur, Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah alasan dari
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom
Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai
hubungan hierarki.
g. Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus
sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan:
(1) untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Rcpublik Indoncsia;
(2) untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan
Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota; dan
(3) untuk mclaksanakan tugas-tugas Pemerintahan tertentu yang
dilimpahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsciitrasi.
h. Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah
pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan
kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian
kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kewenangan otonomi luas
adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang, pertahanan keamanan,Peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi
mencakup pola kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,pengendalian,dan
evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang
secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di
Daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
penyuluhan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahtentan masyarakat yang semakin
baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan , pemerataan,
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah
serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikat secara terbatas yang meliputi
kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau
belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,serta
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya.
i. Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi
Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang ini adalah sebagai
berikut:
(1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan,pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman Daerah.
(2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata,
dan bertanggungjawab.
(3) Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada
Daerah kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi
merupakan otonomi yang terbatas.
(4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara,
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan
Daerah scrta antar-Daerah.
(5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
Daerah Otonomi, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota tidak ada lagi Wilayah Adminitrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah
atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan
perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan
semacamnya berlaku Ketentuan peraturan Daerah Otonom.
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
(7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertetu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil pernerintah.
(8) Pelaksanaan asas tugas pcmbantuan dimungkinkan, tidak hanya.dari
Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah
Kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
2. Pembagian Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
Beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan undang-undang ini
dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembinaan
kewenangan berdasarkan asas dekosentrasi dan desentralisasi dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Daerah yang dibcntuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah Daerah Propinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang
dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
c. Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah
Otonom. Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
d. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah
Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini
kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota.
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah:
a. digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang
dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan
c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi,
Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.
4. Susunan Pemerintahan Daerah dan Hak DPRD
Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah.
DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih
memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
kepada rakyat. Oleh karena itu, hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk
menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kcbijakan Daerah dan
melakukan fungsi pengawasan.
5. Kepala Daerah
Untuk menjadi Kepala Daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan
Tertentu yang intinya agar Kepala Daerah selalu bertakwa kepaga Tuhan Yang
Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan dan berkemampuan sebagai
Pimpinan pemerintahan, berwawasan kebangsaan, serta mendapatkan kepercayaan
masyarakat.
Kepala Daerah di samping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah
Pimpinan Daerah dan pengayom masyarakat sehingga Kepala Daerah harus mampu
berpikir, bertindak, dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan
bangsa, negara, dan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi, golongan,
dan aliran. Oieh karena itu, dari kclompok atau etnis, dan keyakinan mana
pun Kepala Daerah harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil, dan netral.
6. Pertanggungjawaban Kepala Daerah
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, Gubernur
bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai
wakil Pemerintah, Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara itu,
dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
Bupati atau Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota dan
Berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan.
7. Kepegawaian
Kebijakan kepegawaian dalam undang-undang ini dianut kebijakan yang mendorong
pengembangan Otonomi Daerah sehingga kebijakan kepegawaian di Daerah yang
dilaksanakan oieh Daerah Otonomi sesuai dengan kebutuhannya, baik
pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun pemberhentian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Mutasi antar-Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dalam Daerah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan mutasi
antar-Daerah Propinsi diatur oleh Pemerintah. Mutasi antar-Daerah Propinsi
dan/atau antar-Daerah Kabupaten dan Daerah Kota atau Daerah Propinsi dengan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada kesepakatan Daerah Otonom
tersebut.
8. Keuangan Daerah
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan
sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan
prasyarat dalam sistem Pemerintahan Daerah.
(2) Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang
melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah.
9. Pemerintahan Desa
(1) Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan
nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa,
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945
Landasan penlikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan
pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyelenggaraan Pemerintahan merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggug
jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan
tugas tersebut kepada Bupati.
(3) Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum
perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat
dituntut dan rncnuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Dcsa dengan
persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
(4) Sebagai perwuludan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa
atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa
yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan
pengawasan dalam hal pefaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
(5) Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan
kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah. Desa
dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.
(6) Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah,
sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.
(7) Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa
mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para
warganya.
(8) Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat
yang berdirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah
Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.
10. Pembinaan dan Pengawasan
Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi
Dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih
Ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada
Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD
Dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan
Otonomi Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom
tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.
II PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
ayat (1)
cukup jelas
ayat (2)
Yang dimaksud Wilayah Administrasi adalah daerah administrasi menurut
Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain adalah
Bahwa Daerah. Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
tetapi dalam praktek. penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan
koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom. Sementara
itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil
Pemerintah melakukan hubungan pemnbinaan dan pengawasan terhadap Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk menentukan batas dimaksud, setiap Undang-undang mengenai pembentukan
Daerah dilengkapi dengan peta yang dapat menunjukkan dengan tepat letak
geografis Daerah yang bersangkutan, demikian pula mengenai perubahan batas
Daerah.
Ayat (3)
Yang dimaksud ditetapkan Peraturan Pemerintah didasarkan pada usul Pemerintah
Daerah dengan persetujuan DPRD.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi.
Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh
Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah
dalam menumbuh kembangkan kehidupan beragama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah yang diserahkan dan atau
Dilimpahkan kepada Daerah/Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelolanya
mulai dari pembiayaan, perijinan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
sesuai dengan standar, norma, dan kebijakan Pemerintah.
Pasal 9
Ayat (1)
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota
seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan
perkebunan.
Yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya
adalah:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
b. pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, dan
penelitian yang mencakup wilayah Propinsi;
c. pengelolaan pelabuhan regional;
d. pengendalian lingkugan hidup;
e. promosi dagang dan budaya/pariwisata;
f. penanganan penyakit menular dan hama
tanaman; dan
g. perencanaan tata ruang propinsi

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kewenangan ini adalah kewenangan Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota yang ditangani oleh Propinsi setelah ada pernyataan
dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Ayat (3)
cukup jelas
Pasal 10
ayat (1)
Yang dimaksud dengan sumber daya nasional Ayat (1) adalah sumber daya
alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia yang tcrsedia di
Daerah
Pasal 11
Ayat (1)
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan
sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu,
penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan
melalui pengakuan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan
otonominya, untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan
pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupatcri dan Daerah Kota
wajib melaksanakan kcwenangan dalam Bidang pemerintahan tertentu menurut
pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing.
Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
tidak dapat dialihkan ke Daerah Propinsi.
Khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan,
antara lain, pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan,dan tata kota.
Pasal 12
cukup jelas
Pasal 13
cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat(1)
Khusus untuk penan~kapan ikan secara tradisional tidak dibatasi
wilayah laut.
Ayat(2)
Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD bukan
merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemilihan anggota MPR dari Utusan Daerah hanya dilakukan oleh DPRD
Propinsi.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 19
cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pejabat negara dan pejabat pemerintah adalah pejabat
di lingkungan kerja DPRD bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
cukup jelas

Pasal 22
cukup jelas
Pasal 23
cukup jelas
Pasal 24
cukup jelas
Pasal 25
cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
cukup jelas
Pasal 28
cukup jelas
Pasal 29
cukup jelas
Pasal 30
cukup jelas
Pasal 31
cukup jelas
Pasal 32
cukup jelas
Pasal 33
cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara bersamaan adalah bahwa calon Kepala Daerah dan calon
Wakil Kepala Daerah dipilih secara berpasangan. Pemilihan secara
bersamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kerja sama yang harmonis
antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan rapat paripurna adalah rapat yang khusus diadakan
untuk pemilihan Kepala Daerah.
ayat (3)
cukup jelas
Pasal 38
ayat (1)
Calon Gubernur dan calon wakil Gubernur dikonsultasikan dengan
Presiden, karena kedudukannya sclaku wakil Pemerintah di Daerah.
ayat (2)
Calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon
Wakil Walikota diberitahukan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.
Pasal 39
cukup jelas

Pasal 40
cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pengucapan sumpah/juanji dan pelantikan Kepala Daerah dapat dilakukan
di GedungDPRD atau di gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat
DPRD. Pengucapan sumpah/janji dilakukan menurut agama yang diakui
Pemerintah, yakni:
a. diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk Pasal 48 penganut agama
Islam;
b. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong saya" untuk penganut
agama Kristen Protestan/Katolik;
c. diawali denngan ucapan "Om atah paramawisesa' untuk pcnganut agama
Hindu; dan
d. diawali dengan ucapan "Denii Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut
agama Budha.
Ayat (3)
cukup jelas
Ayat (4)
cukup jelas
Pasal 43
huruf a
cukup jelas
huruf b
cukup jelas
huruf c
cukup jelas
huruf d
cukup jelas
huruf e
Dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, Kepala Daerah
berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dengan melaksanakan Pembinaan
dan pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah yang mencakup
permodalan, pemasaran, pengembangan teknologi,produksi, dan pengolahan
serta pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia.
huruf f
cukup jelas
huruf g
cukup jelas
Pasal 44
cukup jelas
Pasal 45
cukup jelas
Pasal 46
cukup jelas
Pasal 47
cukup jelas
Pasal 48
huruf a dan c
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan kemungkinan
terjadinya konflik kepentingan bagi Kepala Daerah dalam melaksanakan
tugasnya untuk memberikan pelayanan pemerintahan dengan tidak
membeda-bedakan warga masyarakat.
Huruf b, huruf e, dan huruf d
Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,
antara lain, yang berwujud korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pasal 49
cukup jelas
Pasal 50
cukup jelas
Pasal 51
cukup jelas
Pasal 52
cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Pemberitahuan secara tertulis tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur,
tembusannya dikirimkan kepada Presiden, sedangkan berakhirnya masa jabatan
Bupati/Walikota, tembusannya dikirimkan kepada Gubernur.
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 54
cukup jelas
Pasal 55
cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
cukup jelas
Ayat (3)
Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Wakil Kepala Daerah dapat
dilakukan di Gcdung Pasal 66 DPRD atau di gedung lain, tidak
dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pcngucapan sumpah/janji dilakukan
menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni:
a. diawali dengan ucapan
"Demi Allah" untuk penganut agarna Islam;
b. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong saya" untuk
penganut agama Kristen Protestan/Katolik;
c. diawali dengan "Om atah paramawisesa untuk penganut agama
Hindu; dan
d. diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Ad Buddha" untuk penganut
agama Buddha.
Ayat (4)
cukup jelas
Ayat (5)
cukup jelas
Pasal 57
cukup jelas
Pasal 58
cukup jelas

Pasal 59
cukup jelas
Pasal 60
cukup jelas
Pasal 61
cukup jela
Pasal 62
cukup jelas
Pasal 63
cukup jelas
Pasal 64
cukup jelas
Pasal 65
Yang dimaksud dengan lcmbaga teknis adalah Badan Penelitian dan
Pengembangan, Badan Perencana, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan
dan Pelatihan, dan lain-lain.
Pasal 66
cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
cukup jelas
Ayat (3)
Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten memberi pertimbangan kepada
Walikota,Bupati dalam proses pengangakatan Lurah.
Ayat(4)
Camat dapat melimpahkan sebagian kewenangan kepada Lurah.
Ayat (5)
cukup jelas
Ayat (6)
cukup jelas
Pasal 68
cukup jelas
Pasal 69
Peraturan Daerah hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah dan
tidak ditandatangani-serta Pimpinan DPRD karena DPRD bukan
merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.
Pasal 70
cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Paksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menegakkan hukum
dengan Undang-undang ini disebut "paksaan penegakan Hukum" atau
"paksaan pemeliharaan hukum".
Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau
meniadakan, mencegah atau memperbaiki segala sesuatu, melakukan
sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan, atau
ditiadakan yang bertentangan dengan hukum.
Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa
eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak mengindahkannya,
diambil suatu tindakan paksaan. Pejabat yang menjalankan tindakan
paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar harus dengan
tegas diserahi tugas tersebut. Paksaan penegakan hukum itu hendaknya
hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara seimbang
sesuai dengan berat pelanggaran, karena paksaan tersebut pada
umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan. Jumlah denda dapat
disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemahalan.
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 72
cukup jelas
Pasal 73
ayat (1)
Pengundangan peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat
mengatur dilakukan mcnurut cara yang sah, yang merupakan keharusan agar
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut mempunyai kekuatan
hukum dan mengikat. Pengundangan dimaksud kecuali untuk memenuhi
formalitas hukum juga dalam rangka keterbukaan pemerintahan Cara
pengundangan yang sah adalah dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah
oleh Sekretaris Daerah. Untuk lebih mengefcktifkan pelaksanaan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, peraturan dan keputusan tersebut
perlu dimasyarakatkan.

ayat (2)
cukup jelas
Pasal 74
cukup jelas
Pasal 75
cukup jelas
Pasal 76
Pemindahan pegawai dalam Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Bupati/
Walikota, pemindahan pegawai antar-Daerah kabupaten/Kota dan/atau
antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi dilakukan oleh Gubernur
setelah berkonsultasi dengan Bupati/Walikota, dan pemindahan pegawai
antar-Daerah Propinsi atau antara Daerah Propinsi dan Pusat serta
pemindahan pegawai Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah
Kabupaten/Kota di Daerah Propinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah
setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
huruf a
angka 1 Cukup jelas
angka 2 cukup jelas
angka 3 cukup jelas
angka 4
lain-lain pendapatan aslidaerah yang sah antara lain hasil penjualan
asset daerah dan jasa giro
huruf b
cukup jelas
huruf c
cukup jelas
huruf d
lain-lain pendapatan Daerah yang sah adalah antara lain hibah atau
penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kabupatcii/Kota lainnya,
dan peneriniaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 80
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan pcncrimaan sumber daya alam adalah penerimaan
negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam antara lain di
bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan,
dan perikanan.

huruf b Cukup jelas

huruf c cukup jelas
ayat (2)
Tidak termasuk bagian Pemerintah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
dan Bea Perolchan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang dikembalikan kepada
Daerah.

ayat (3)
Cukup jelas
ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah, lembaga komersial,
dan/atau pembiayaan obligasi Daerah dengan diberitahukan kepada
Pemerintah sebelum peminjaman tersebut dilaksanakan.
Yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman Daerah adalah Kepala
Daerah, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah atas persetujuan
DPRD.
Di dalam Keputusan Kepala Daerah harus dicantumkan jumlah pinjaman dan
sumber dana untuk memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman.
Ayat (2)
Ayat (3)
Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri harus mendapat persetujuan
Pemerintah mengandung pengertian bahwa Pemerintah akan melakukan evaluasi
dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan pinjaman Daerah
untuk memproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut
usulan pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan
persetujuan Pemerintah atas usulan termaksud.
Pasal 82
Ayat (1)
Daerah dapat menetapkan pajak dan retribusi dengan Peraturan Daerah
sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Ayat (2)
Penentuan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah termasuk
pengembalian atau pembebasan pajak dan/atau rciribusi Daerah yang
dilakukan dengan bcrpcdoman pada ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan inswitif nonfiskal adalah bantuan Pemerintah
berupa kemudahan pembangunan prasarana, penyebaran lokasi industri
strategis, penyebaran lokasi pusat-pusat perbankan nasional, dan
lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan hukum lain adalah menjual, menggadaikan,
menghibahkan, tukar guling, dan/atau memindahtangankan
Pasal 86
cukup jelas
Pasal 87
cukup jelas
Pasal 88
cukup jelas
Pasal 89
cukup jelas
Pasal 90
cukup jelas
Pasal 91
ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga bersama adalah lembaga yang dibentuk
secara bersama oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang berbatasan dalam
rangka meningkatkan pelayanan, kepada masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan
untuk menciptakan sinergi Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak
swasta.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan.
ayat (3)
cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Istilah Dcsa discsuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat seperti nagari,kampung, huta, bori, dan marga.
Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan pcnjelasannya.
Ayat (2)
Dalam pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa perlu
dipertimbangkan luas wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya,
potensi Desa, dan lain-lain.
Pasal 94
Istilah Badan Perwakilan Desa dapat disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya masyarakat Desa setempat.
Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Dcsa dilakukan oleh
masyarakat Desa.

Pasal 95
Ayat (1)
Istilah Kepala Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
Desa setempat.
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 96
Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai
dengan sosial budaya setempat.

Pasal 97
cukup jelas
Pasal 98
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
Pengucapan sumpah/janji Kepala Desa dilakukan menurut agama yang
diakui Pemerintah, yakni:
a. diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk penganut agama Islam;
b. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong saya" untuk
penganut agama Kristen Protestan/Katolik;
c. diawali dengan ucapan "Om atah paramawisesa" untuk penganut agama
Hindu; dan
d. diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut
agama Buddha.
Ayat (3)
cukup jelas
Pasal 99
cukup jelas
Pasal 100
Pemerintah Desa berhak mcnolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang
tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia.
Pasal 101
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat
dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah
didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang
berselisih.
Huruf f
cukup jelas
Pasal 102
Huruf a
cukup jelas
Huruf b
Laporan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati dengan
tembusan kepada Camat
Pasal 103
ayat (1)
Huruf a
cukup jelas
Huruf b
cukup jelas
Huruf c
cukup jelas
Huruf d
Untuk menghindari kekosongan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
Kepala Desa yang setelah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan
tugasnya sebagai Kepala Desa sampai dengan dilantiknya Kepala Desa yang
baru.
Huruf e
cukup jelas
Fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasaan terhadap
pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan
Keputusan Kepala Desa.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib
disampaikan kcpadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah
ditetapkan dengan tembusan kepada Camat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Sumber pcndapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak
dibenarkan diambilalih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pemberdayaaii potcnsi Desa dalam meningkatkan pendapatan Desa
dilakukan, antara lain, dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa,
kerja sama dengan piliak ketiga, dan kewenangan melakukan pinjaman.
Sumber Pendapatan Daerah yang berada di Desa, baik pajak maupun
retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak Ayat (2)
dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa.
Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada Desa
yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi
tinggi dan dampak lainnya.
Ayat (2)
Kegiatan pengclolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang
ditetapkan setiap tahun meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan
tata usaha kcuangan, dan perubahan serta perhitungan anggaran.
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
cukup jelas
Ayat (5)
cukup jelas
Pasal 108
cukup jelas
Pasal 109
Ayat (1)
Kerja sama antar-Desa yang memberi beban kepada masyarakat harus
mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 110
Pemerintah Desa yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan dimaksud
berhak menolak pembangunan tersebut.
Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan asal-usul adalah asal-usul terbentuknya Desa
yang bersangkutan.
Pasal 112
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya memberdayakan Daerah
Otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan
supervisi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 113
cukup jelas
Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamahi Agung sebagai upaya hukum terakhir
dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari setelah adanya keputusan
pembatalan dari Pemerintah.
Pasal 115
Ayat (1)
Mekanisme pemnbentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran
Daerah dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung dan/atau dimekarkan
diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada
Pemerintah;
b. Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk
melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial udaya, sosial-polilik, jumlah penduduk luas daerah,
dan pertimbangan lain;
C. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan untuk
menyusun rancangan undang-undang yang mengatur pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran Daerah Otonom.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Asosiasi Pemerintah Daerah adalah organisasi yang
dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam rangka kerja sama antar-Pemerintah
Propinsi, antar Pemerintah Kabupaten, dan/atau antar-Pcmerintah Kota
berdasarkan pcdoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Wakil-wakil Daerah dipilih oleh DPRD dari berbagai keahlian terutama di
bidang keuangan dan pemerintahan, serta bersikap independen sebanyak 6
orang, yang terdiri atas 2 orang wakil Daerah Propinsi, 2 orang wakil
Daerah Kabupaten dan 2 orang wakil Daerah Kota dengan masa tugas selama
dua tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 116
cukup jelas
Pasal 117
cukup jelas
Pasal 118
Ayat (1)
Pemberian otonomi khusus kepada Propinsi Daerah I Timor Timur
didasarkan pada perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ayat(1) Ketetapan MPR
RI yang mengatur status Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur lebih
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 119
cukup jelas
Pasal 120
cukup jelas
Pasal 121
cukup jelas
Pasal 122
Pengakuan keistinicwaan Propinsi Daerah Aceh didasarkan pada
sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi
keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat,
dan pendidikan serta mempcrhatikan peranan ulama dalam
penetapan kebijlakan Daerah.
Pengakuan keistimewaan Propinsi istimewa Yogyakarta didasarkan
pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional,
sedangkan isi keistimewaannya adalah Pengangkatan Gubernur
dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta
dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan
Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan
undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam
waktu satu tahun.
Ayat (2)
Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya undang-undang ini
dan sudah selesa dalam waktu dua tahun.

Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3839